Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tersangka Pembunuh Mayat dalam Kardus Kehilangan Sosok Ayah

Kompas.com - 24/10/2011, 10:27 WIB
Windoro Adi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.Com — Tersangka Rachmad Awifi alias Redi alias Afif (26) menjadi brutal karena ia kehilangan sosok seorang ayah yang baik. Pemeriksaan tersangka oleh tim psikolog Polri baru dilakukan pekan depan.

Demikian disampaikan psikolog forensik, Lia Latief, dan Kepala Subdit Umum Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Helmy Santika, Minggu (23/10/2011).

Tersangka pembunuh Hertati (35) dan putri bungsunya, ES (6), mengaku, setelah berhubungan intim dengan Hertati dengan cara brutal, ia membunuh korban. Setelah itu, ia memerkosa dengan cara yang brutal pula sebelum membunuh dan membakar ES.

Ia melakukan hal itu di samping jenazah Hertati. "Saya menduga, kebrutalan tersangka karena ia kehilangan sosok ayah," tutur Lia.

Menurut dosen PTIK dan Universitas Tarumanegara itu, seorang anak kehilangan sosok ayah karena saat kecil ia melihat ayahnya berlaku kejam terhadap dirinya, ibunya, atau saudara-saudaranya. "Ia begitu membenci ayahnya, tetapi tanpa sadar ia menginternalisasi dan mengulang perbuatan ayahnya di masa kecil. Saat sadar akan perbuatannya, ia begitu membenci dirinya. Tetapi, kemudian ia terus mengulang kebrutalannya seperti yang dilakukan ayahnya," jelas Lia.

Kehilangan sosok ayah juga bisa berarti tersangka tidak mengenal ayahnya karena minimnya komunikasi dan kesempatan saling berbagi. "Ia kemudian mencari sosok ayah pada diri pria lain dan terjebak dalam subkultur kekerasan yang banyak terjadi di kawasan kumuh dan padat seperti disampaikan kriminolog UI, Prof Adrianus Meliala, sebelumnya," ucap Lia.

Menurut Meliala, subkultur kekerasan adalah keyakinan masyarakat bahwa kekerasan menjadi cara menyelesaikan setiap persoalan. Hal ini sering terjadi di lingkungan masyarakat miskin yang berpendidikan rendah, terutama di pinggiran kota. Di Jakarta, lanjut Meliala, kawasan bersubkultur kekerasan ditandai dengan tingginya konsumsi narkoba di kawasan tersebut.

Menurut Lia dan Meliala, subkultur kekerasan awalnya berkembang di antara para pria dewasa lewat makian merendahkan, terutama terhadap perempuan dan anak-anak. "Dari biasa memaki, lalu menempeleng. Dari kebiasaan menempeleng, lalu menendang dan berkembang menjadi kebiasaan menganiaya sebelum berakhir pada peristiwa pembunuhan, perkosaan, atau penganiayaan berat," ujar Meliala.

Menurut dia, hal ini sudah menjadi sesuatu yang umum berproses di lingkungan padat penduduk miskin dan berpendidikan rendah. "Hal ini bukan berlangsung hanya di kawasan urban miskin, tetapi juga di kawasan desa miskin," tegasnya.

Punya riwayat

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com