JAKARTA, KOMPAS.com - Selama dua hari, Kamis dan Jumat (1/11), buruh dari sejumlah kawasan industri di DKI Jakarta dan sekitarnya turun ke jalan menuntut upah yang layak. Bagi mereka, aksi dua hari itu sangat berarti untuk kelangsungan hidup di tahun 2014.

”Tahun depan harus lebih baik,” kata Siti (30), buruh garmen asal Pemalang, Jawa Tengah, yang dua tahun ini bekerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung. Di bawah terik matahari, Siti berdiri di antara kerumunan massa buruh yang menyuarakan tuntutan perbaikan kesejahteraan.

Siti bukan pengurus serikat buruh. Seperti beberapa temannya, dia tak paham betul dengan alotnya penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta. Namun, dia tahu unjuk rasa itu demi masa depan periuknya.

Seperti Siti, buruh garmen lainnya, Marici (38), harus menebus satu hari unjuk rasa dengan lembur tiga hari, Senin-Rabu (28-30/10). Manajemen perusahaan mengejar target produksi untuk ekspor dengan meminta pekerja menambah jam lembur.

”Sejak Senin pekan ini lembur, jam masuk kerja dimajukan dari pukul 08.00 menjadi pukul 07.00. Waktu lembur biasanya sampai pukul 18.00, kemarin sampai pukul 22.00,” kata Marici.

Bagi Siti dan Marici, kerja lembur dan berjemur diri menyuarakan tuntutan bukan hal yang berat. Keduanya menyebutnya dengan ”keringat” untuk kehidupan tahun depan yang lebih baik. Permintaan Siti dan Marici memang tak setinggi angka yang disuarakan aktivis buruh, yakni UMP sebesar Rp 3,7 juta, tetapi keduanya ingin upahnya tahun depan lebih tinggi daripada tahun ini.

Balaikota

Hari Jumat pukul 11.00, gelombang pertama buruh mulai mengalir ke Balaikota DKI Jakarta. Sejurus kemudian, teriakan lantang melalui pengeras suara terdengar di segenap penjuru Balaikota, ”Kami akan lawan upah murah.”

Satu per satu orator naik ke mobil komando dan menyampaikan penolakan terhadap penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2014 oleh Gubernur Joko Widodo sebesar Rp 2,441 juta. Ini merupakan kedatangan ketiga massa buruh di Balaikota untuk menuntut kenaikan UMP.

”Saya mewakili teman-teman buruh yang merasa kecewa dengan keputusan Gubernur menaikkan upah hanya Rp 2,4 juta. Itu jelas tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari yang harganya kian tinggi,” ujar Jumisih, Ketua Forum Buruh Lintas Pabrik.

Semakin siang, massa buruh yang tiba di Balaikota semakin banyak jumlahnya. Mereka menghentikan aksi sejenak untuk melaksanakan shalat Jumat. Selepas itu, musik dan teriakan penolakan semakin lantang terdengar.

Cuaca panas terik di siang hari berganti mendung dan hujan di sore hari. Sejak tiba di Balaikota, para buruh bersikeras untuk menginap di Balaikota sampai UMP diubah sesuai keinginan mereka. Hal itu terus mereka suarakan sejak hari pertama unjuk rasa.

Hingga sore hari, mereka mencoba bertahan di depan Balaikota. Namun, jelang pukul 19.00 massa memutuskan membubarkan diri. Sekretaris Jenderal KSBI M Rusdi mengajak massa aksi untuk kembali ke organisasi mereka masing-masing.

”Kita atur strategi dan kembali ke sini minggu depan,” kata M Rusdi.

Tidak hanya lelah, wajah sebagian buruh itu juga diliputi rasa gundah gelisah. Harapan mereka terbentur keputusan Pemerintah DKI Jakarta yang mematok UMP sebesar Rp 2,4 juta. Beberapa di antara mereka menangis.

Kecewa dengan keputusan itu, buruh berencana menggelar aksi lebih besar dan serempak di Jakarta. Mereka mengancam hendak kembali melumpuhkan mesin industri di Jakarta.

”Kami tidak kalah! Kami hanya mundur, kami akan kembali!” seru sekelompok buruh sambil menunjuk ke arah barisan polisi. (FRO/MKN/NDY/WIN/JOS)