Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

HP Dilarang di Lapas, Napi Bisa Sewa Rp 3 Juta

Kompas.com - 18/08/2014, 09:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com
 — Larangan bagi para narapidana untuk memiliki ponsel pribadi menjadi peluang bisnis bagi para oknum petugas lembaga pemasyarakatan (lapas). Sejumlah mantan narapidana mengaku tidak mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan kerabat, klien, maupun keluarganya karena bisa menyewa ponsel milik oknum penjaga lapas.

Tarif sewanya Rp 50.000 per hari atau Rp 1,5 juta sebulan untuk HP biasa dan Rp 100.000 sehari atau Rp 3 juta sebulan untuk HP jenis android yang lengkap dengan fasilitas internetnya. Selain menyewa HP, penghuni lapas juga bisa menyewa laptop atau notebook dari oknum petugas.

Sam, salah seorang narapidana di LP Cipinang, mengatakan, semua ponsel itu disewakan oleh oknum petugas tanpa dilengkapi SIM card karena para narapidana umumnya sudah mengantongi SIM card sendiri.

Inilah yang menjadi modus baru bagi oknum-oknum aparat lapas untuk menambah penghasilan mereka dengan menyewakan ponsel kepada para narapidana.

Dengan menyewa ponsel itu, beberapa narapidana bebas kapan saja untuk melakukan hobi atau usahanya karena bisa bertransaksi dengan menggunakan e-banking atau internet banking.

Dengan e-banking, seorang nasabah sangat mudah bertransaksi dan tak perlu antre di mesin ATM atau di bagian teller sebuah bank.

Kemudahan itulah yang kini dimanfaatkan bandar narkoba dan pelaku penipuan yang dikendalikan dari lapas. Mereka bisa menerima transfer atau mentransfer uang dalam sekejap dengan menggunakan e-banking meski tengah mendekam di lapas.

Seorang mantan narapidana lainnya, sebut saja Don, kepada kepada Warta Kota, Jumat (15/8/2014) siang, mengaku sudah terbiasa menyewa HP di dalam penjara. Belum lama ini dia baru menghirup udara segar setelah bertahun-tahun menjadi penghuni salah satu lapas di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Menurut Don, masyarakat jangan mudah percaya dengan kesan angker Lapas Nusakambangan. Meski mendapat sebutan penjara bagi penjahat kelas kakap, selama bertahun-tahun di sana, Don malah bebas berkomunikasi via ponsel.

Bahkan, berselancar ria di dunia maya pun dia lakoni. Memang, kata dia, ada saat-saat di mana jaringan penghubung alias sinyal terputus.

Sebelum "resmi" menjadi penghuni Lapas Nusakambangan, Don pernah dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Cipinang, Jakarta Timur, dan Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Di kedua rutan itu, ternyata sama saja.

"Di Lapas Nusakambangan saja bebas berkomunikasi, apalagi di (Rutan) Cipinang dan Salemba," kata Don kepada Warta Kota.

Lalu, bagaimana caranya ponsel dan laptop masuk ke lapas? Bukan karena diselundupkan pengunjung, baik itu anggota keluarga si narapidana, handai tolan, atau kuasa hukum saat jam besuk. Ternyata, ponsel dan alat komunikasi lainnya diperjualbelikan oleh oknum petugas lapas!

Simbiosis mutualisme

Bisnis jual-beli alat komunikasi di lapas menciptakan simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan antara oknum petugas sebagai penjual dan narapidana sebagai pembeli.

Petugas berusaha keras menutup-nutupi tindakan ilegal ini dari dunia luar. Sementara itu, sang narapidana tak mau membocorkannya karena mereka juga membutuhkannya.

Ada uang ada barang. Penghuni lapas bebas membeli (memesan) alat komunikasi merek apa pun. Narapidana yang banyak duit, semacam koruptor atau bandar narkoba, bisa memilih mau beli ponsel mahal jenis smartphone (ponsel pintar) keluaran terkini atau ponsel biasa saja dengan harga sedang. Sementara itu, narapidana kelas lebih rendah tentu saja mengikuti kemampuan kantongnya.

Oknum petugas penjual ponsel tentu saja berbeda dengan penjual ponsel pada umumnya, seperti di pusat toko ponsel di Roxy atau Glodok. Di lapas, kata Don, oknum petugas itu pasang tarif 20 persen lebih mahal dibandingkan harga di pasaran.

Misalnya saja, seorang narapidana bandar narkoba ingin membeli smartphone terkini jenis iPhone 5S berkapasitas 16 GB. Per Agustus ini, harga per unitnya sekitar Rp 10 juta. Maka itu, oknum petugas itu akan menjualnya seharga Rp 12 juta kepada si bos narkoba. Begitu seterusnya.

"Mereka (oknum petugas) tahunya smartphone itu digunakan untuk keperluan pribadi. Mereka nggak peduli apakah akhirnya handphone itu digunakan untuk bertransaksi narkoba atau apa pun," ucap Don. (gps)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gaji Dipotong untuk Tapera, Pegawai Swasta: Curiga Uangnya Dipakai Lagi oleh Negara

Gaji Dipotong untuk Tapera, Pegawai Swasta: Curiga Uangnya Dipakai Lagi oleh Negara

Megapolitan
Fakta-fakta Penemuan Mayat Dalam Toren Air di Pondok Aren: Korban Sempat Pamit Beli Kopi dan Ponselnya Hilang

Fakta-fakta Penemuan Mayat Dalam Toren Air di Pondok Aren: Korban Sempat Pamit Beli Kopi dan Ponselnya Hilang

Megapolitan
Heru Budi Sebut Bakal Ada Seremonial Khusus Lepas Nama DKI Jadi DKJ

Heru Budi Sebut Bakal Ada Seremonial Khusus Lepas Nama DKI Jadi DKJ

Megapolitan
Keberatan soal Iuran Tapera, Karyawan Keluhkan Gaji Pas-pasan Dipotong Lagi

Keberatan soal Iuran Tapera, Karyawan Keluhkan Gaji Pas-pasan Dipotong Lagi

Megapolitan
Duka Darmiyati, Anak Pamit Beli Kopi lalu Ditemukan Tewas Dalam Toren Tetangga 2 Hari Setelahnya

Duka Darmiyati, Anak Pamit Beli Kopi lalu Ditemukan Tewas Dalam Toren Tetangga 2 Hari Setelahnya

Megapolitan
Pengedar Narkoba di Koja Pindah-pindah Kontrakan untuk Menghilangkan Jejak dari Polisi

Pengedar Narkoba di Koja Pindah-pindah Kontrakan untuk Menghilangkan Jejak dari Polisi

Megapolitan
DPC Gerindra Tunggu Instruksi DPD soal Calon Wali Kota Pilkada Bogor 2024

DPC Gerindra Tunggu Instruksi DPD soal Calon Wali Kota Pilkada Bogor 2024

Megapolitan
Perempuan Tewas Terlindas Truk Trailer di Clincing, Sopir Truk Kabur

Perempuan Tewas Terlindas Truk Trailer di Clincing, Sopir Truk Kabur

Megapolitan
Keluarga di Pondok Aren Gunakan Air buat Sikat Gigi dan Wudu dari Toren yang Berisi Mayat

Keluarga di Pondok Aren Gunakan Air buat Sikat Gigi dan Wudu dari Toren yang Berisi Mayat

Megapolitan
Heru Budi: Tinggal Menghitung Bulan, Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara

Heru Budi: Tinggal Menghitung Bulan, Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara

Megapolitan
Saat Bintang Empat Prabowo Pemberian Jokowi Digugat, Dinilai Langgar UU dan Sarat Konflik Kepentingan

Saat Bintang Empat Prabowo Pemberian Jokowi Digugat, Dinilai Langgar UU dan Sarat Konflik Kepentingan

Megapolitan
Tabrakan Beruntun di Jalan Yos Sudarso, Pengendara Mobil dan Motor Luka-luka

Tabrakan Beruntun di Jalan Yos Sudarso, Pengendara Mobil dan Motor Luka-luka

Megapolitan
Dalam 5 Bulan, 20 Warga Kota Bekasi Meninggal karena DBD

Dalam 5 Bulan, 20 Warga Kota Bekasi Meninggal karena DBD

Megapolitan
Petugas Tertibkan Stiker Kampanye Bakal Calon Wali Kota Bogor yang Tertempel di Angkot

Petugas Tertibkan Stiker Kampanye Bakal Calon Wali Kota Bogor yang Tertempel di Angkot

Megapolitan
APK Kandidat Cawalkot Bogor Dicopot karena Belum Masa Kampanye, Termasuk Milik Petahana

APK Kandidat Cawalkot Bogor Dicopot karena Belum Masa Kampanye, Termasuk Milik Petahana

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com