"Saya cuma terusin almarhum bapak dan ibu. Memang dari dulu bapak dan ibu jadi sukarelawan memasak buat napi-napi di sini," tutur Dwi kepada Kompas.com usai menyiapkan puluhan porsi nasi bungkus, Senin (16/3/2015) sore.
Dwi menceritakan, saat dia dan keempat saudaranya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, almarhum ibunya bekerja dengan membuka warung makan kecil-kecilan di dekat Polsek Tanjung Duren. Sementara itu, ayahnya bekerja sebagai penjahit yang menerima pesanan jahitan dari rumah. Dari buka warung makan sederhana, ibu Dwi saat itu ditawari oleh polisi di sana untuk memasak khusus bagi para napi.
Tawaran itu pun diambil. Ia menerima fasilitas yang diberikan oleh pihak kepolisian berupa tempat untuk memasak, listrik, dan air secara cuma-cuma. Untuk memasak pun, polisi memberikan uang untuk membeli makanannya. Di saat itu, ibu Dwi yang juga turut dibantu oleh suami, memasak makanan khusus untuk napi. Pekerjaan itu dilakoni kedua orangtua Dwi hingga akhir hayat mereka.
Awalnya, Dwi bekerja sebagai pegawai sekretariat di salah satu gereja. Sementara itu, suaminya, Marjaka (59) masih bekerja di salah satu pabrik di bilangan Jakarta Barat hingga saat ini. Dwi dengan suami dan kedua anaknya, Ardan Dwika Saputra (8) dan Rindang Tarbantin (8 bulan) sudah punya rumah di daerah Ciledug, Tangerang. Namun karena jarak yang cukup jauh dari Ciledug ke Tanjung Duren, maka Dwi memutuskan untuk menetap di Polsek Tanjung Duren dan melepaskan pekerjaannya.
"Saya tinggal di sini sekeluarga. Lumayan, enggak usah bayar tempat tinggal. Listrik gratis juga," tambah Dwi.
Pantauan Kompas.com di lokasi, tempat tinggal Dwi yang sekaligus menjadi tempat memasak tidak hanya dipenuhi oleh barang milik keluarga Dwi tetapi juga perlengkapan polisi, seperti seragam, tas, helm, dan sebagainya.
Dari ruangan itu, Dwi hanya memiliki tempat kosong untuk menaruh kasur dan pakaian Dwi sekeluarga. Selebihnya, penuh dengan barang-barang kepolisian dan alat-alat dapur. Terlebih karena tempat tidur jadi satu tempat dengan dapur, hawa panas pun sudah menjadi sebuah hal yang biasa bagi mereka. Ada sebuah kipas di langit-langit namun tidak menyala.
Dwi setiap harinya harus bangun jam 04.00 WIB untuk belanja ke pasar. Pasar yang menjadi pilihan Dwi adalah Pasar Jembatan Lima, Jakarta Barat. Namun untuk beberapa macam bahan makanan, dia juga suka belanja di Pasar Tobar, Tanjung Duren dan Semanan, Tangerang.
Masakan Dwi setiap harinya berbeda-beda. Setiap menu yang terdiri dari waktu makan pagi, siang, dan malam disiapkan sendiri oleh Dwi dibantu saudara laki-lakinya, Dodo (37). Jadwal makan pagi sendiri jam 08.00 WIB sampai 09.00 WIB, makan siang jam 13.00 WIB, dan makan malam jam 19.00 WIB. Dwi menyiapkan 56 porsi makanan sesuai dengan jumlah napi di Polsek Tanjung Duren saat ini.
"Tapi kadang suka ada makanan lebih kita bungkus lagi kasih buat keluarga napi yang datang," aku Dwi.
Nominal uang yang dibelanjakan dihitung per orang, sudah termasuk tiga kali makan dalam sehari, sebesar Rp 14.000 untuk satu orang napi. Terkait dengan naiknya harga bahan pokok, Dwi mengaku harus lebih jeli membeli bahan makanan karena dari polisi di sana juga tidak menambah dana konsumsi napi.
Dengan pekerjaan seperti itu, Dwi hanya bisa mengambil untung yang sedikit jika ada sisa atau lebih dari uang belanja bahan makanan. Namun kondisi itu tetap disyukuri karena bantuan bisa datang dari mana saja, dan keluarga Dwi sendiri tidak mengalami masalah ekonomi, khususnya soal makanan yang menurut dia selalu berlimpah.
"Puji Tuhan bayar uang sekolah anak enggak pernah telat, selalu tepat waktu di tanggal 1 setiap bulan. Kita makan juga terjamin. Kadang polisi nyumbang beras," terang Dwi.
Dwi mengaku bahwa dia tidak akan selamanya bekerja sebagai koki bagi para napi. Dia juga menginginkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik ke depannya. Namun dengan kondisi dan pekerjaannya sekarang ini, Dwi sudah merasa senang. Terlebih untuk urusan makanan, dia dan keluarganya tidak akan kekurangan.
"Kalau ditanya cukup apa enggak hidupnya, lihat saja sendiri, badan saya gemuk begini kan tandanya apa?" tanya Dwi sambil tertawa.