Oleh Denty Piawai Nastitie
Dahulu Jakarta Selatan dikenal sebagai daerah resapan air yang hijau, teduh, dan tenang. Namun, seiring pesatnya perkembangan kota, kini gedung bertingkat tumbuh menjamur. Sejumlah program pun dibuat untuk mempertahankan ruang terbuka hijau yang kian terbatas.
Noviansyah (17), lulusan SMA Gita Kirti, Jakarta Selatan, berlatih marawis di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Bahari atau Taman Bahari di Jalan Bahari, Kelurahan Gandaria Selatan, Jakarta Selatan, Selasa (23/6) sore. Bagi warga yang biasa tinggal di permukiman padat penduduk, RPTRA seperti oase di tengah padang gurun. "Udara di sini segar, banyak angin, dan tanaman hijau," katanya.
Dia berlatih marawis bersama puluhan remaja Masjid Darul Falah. Di dekat mereka puluhan anak dan remaja lain bermain ayunan, perosotan, dan sepak bola. Ada pula orang dewasa yang menggendong anak balita sambil melihat air mancur.
Rosidah (30), ibu rumah tangga, menuturkan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) seperti RPTRA Bahari sangat dirindukan warga. "Di lingkungan saya nyaris tidak ada lagi lahan terbuka. Biasanya anak-anak bermain di gang permukiman warga," kata ibu yang datang ke RPTRA Baharu bersama kedua anaknya, Vina (6) dan Adit (1).
Taman Bahari dulu merupakan bekas lapangan futsal milik Dinas Olahraga DKI Jakarta. Bekerja sama dengan sejumlah perusahaan swasta, sejak awal tahun 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun lapangan itu menjadi ruang terbuka, RPTRA Bahari.
Aneka tumbuhan vertikal dan sayuran ditanam. Taman itu dilengkapi fasilitas permainan anak, seperti perosotan dan ayunan, selain ada juga lapangan bulu tangkis, lapangan futsal, panggung pertunjukan, dan bangunan dua lantai yang dipakai untuk perpustakaan, ruang pendidikan anak usia dini, posyandu, dan ruang laktasi.
Tahun ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan membangun 60 RPTRA di Ibu Kota. Di Jakarta Selatan, lokasi pembangunan tersebar di 13 lokasi, antara lain di Kelurahan Petukangan Selatan, Jagakarsa, Ciganjur, Pejaten Timur, Pejaten Barat, dan Kebagusan. Keberadaan RPTRA adalah salah satu contoh pembangunan RTH yang berkontribusi penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman warga.
Penyimpangan RTRW
Dengan kondisi geografis yang berbukit-bukit dan berada jauh dari laut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan Jakarta Selatan sebagai kawasan hijau dan daerah resapan air. Dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), pengembangan daerah selatan Jakarta dibatasi. Meski aturan sudah dibuat, penyimpangan rencana tata ruang itu masih terjadi.
Setiap tahun ada kecenderungan peningkatan proporsi lahan terbangun di Jakarta Selatan. Tahun 1983, areal terbangun di kota ini masih 26 persen dari luas total. Dua puluh tahun berikutnya, kawasan terbangun meningkat menjadi 72 persen. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan proporsi daerah terbangun di Jakarta Utara dan Timur (Kompas, 20 Desember 2013)
Kawasan Kemang, misalnya, dahulu dikenal sebagai kawasan permukiman alami. Sampai 1987, wilayah itu masih sangat nyaman dihuni karena terdapat banyak tanah lapang dan pohon yang subur. Rumah dibangun dengan halaman yang luas. Jarak satu rumah dengan rumah lain berjauhan.
Dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2005 (1985-2005), kawasan yang menjadi bagian daerah aliran Sungai Krukut ini ditetapkan sebagai kawasan permukiman dengan pengembangan terbatas karena mengemban fungsi sebagai daerah resapan air. Namun, sejak pertengahan 1990-an, kawasan ini berubah menjadi kawasan komersial yang disesaki kafe, restoran, hotel, dan pertokoan.
Untuk menghindari perubahan fungsi lahan yang kian parah, Kemang ditetapkan sebagai kampung modern. Luas bangunan dibatasi hanya 20 persen dari keseluruhan tanah. Tinggi bangunan maksimal tiga lantai.
Kenyataannya, Kemang kini semakin padat bangunan. Jika curah hujan tinggi, muncul genangan dan banjir di lokasi yang rendah. Kemacetan juga sering terjadi karena jalan yang tak terlalu lebar di daerah ini diperuntukkan bagi jalan lingkungan permukiman.