Hal itu ia pelajari dari buku Ekspedisi Ciliwung, yang merupakan laporan jurnalistik Kompas. Ahok menilai, tradisi melestarikan pinggir Sungai Ciliwung ini begitu kental sampai-sampai tidak ada orang Betawi yang mau menempati daerah bantaran itu.
"Orang Betawi itu mau nguburin orang tidak ada yang di bawah sungai. Karena kalau pasang, pasti kelelep. Maka, selalu taruh di atas. Ini khas Ciliwung kita sebetulnya," kata Ahok di sela-sela acara Lebaran Betawi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Minggu (23/8/2015).
Namun, tradisi menikmati Sungai Ciliwung musnah karena belakangan daerah bantaran Sungai Ciliwung justru dipenuhi rumah-rumah. Hal ini, menurut dia, terjadi karena adanya oknum-oknum yang menjual kavling-kavling tanah sekitar Sungai Ciliwung kepada pendatang.
Kemudian, pendatang inilah yang kemudian menebang pohon dan menduduki sungai. Mereka juga menampung sampah-sampah sehingga ketika sampahnya sudah banyak, sungai pun dikeruk. Hal itu membuat sungai menjadi lebih sempit.
"Jadi, yang tinggal di pinggir Ciliwung itu sebetulnya adalah pendatang, bukan asli Betawi karena orang Betawi terkenal cerdas, tidak bodoh. Tidak mungkin orang Betawi 'menanam' keluarga di pinggir sungai," kata dia.
Hal itulah yang kemudian membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bergerak untuk menormalisasi sungai. Caranya ialah dengan menertibkan permukiman di bantaran sungai, termasuk kawasan Kampung Pulo.
"Kita buat alami seperti zaman dulu. Jadi, Jakarta harus dikembalikan ada ciri khas Betawi," ujar Ahok.
Seperti diketahui, penertiban itu tidak berjalan mulus. Banyak warga yang mengaku sudah berpuluh-puluh tahun menempati bantaran kali enggan direlokasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.