JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan sekaligus Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, ada banyak faktor yang menjadi penyebab kasus kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara, kembali terulang, salah satunya kurangnya pengawasan.
"Jadi (kasus kekerasan) ini (bisa terjadi karena) bentuk pengawasan yang lemah," ungkap Retno saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/5/2024).
Retno menyampaikan, terdapat pengawasan yang lemah dalam kasus penganiayaan yang menimpa taruna STIP bernama Putu Satria Ananta Rastika (19).
Seperti diketahui, Putu tewas usai dianiaya seniornya, Tegar Rafi Sanjaya (21), di dalam kamar mandi lantai 2 STIP pada Jumat (3/5/2024) lalu.
Menurut Retno, lokasi Putu dianiaya menjadi bukti adanya bentuk pengawasan yang lemah.
"Kasus STIP ini, dia (pelaku) itu mengajak juniornya (para korban) ke kamar mandi kan, kenapa? Karena mereka sadar kalau di tempat yang lain akan ada CCTV," jelas Retni.
"Jadi, mereka sudah pelajari mana tempat-tempat yang aman (untuk melakukan penganiayaan). Berarti ini ada sistem keamanan atau sistem pengawasan yang mungkin lemah," sambungnya.
Selain pengawasan yang lemah, adanya tradisi kekerasan membuat kasus penganiayaan kembali muncul di STIP.
Menurut Retno, tradisi kekerasan menunjukkan bahwa ada kegagalan dari pendidikan karakter para pelaku kekerasan.
Baca juga: Senior yang Aniaya Taruna STIP Panik saat Korban Tumbang, Polisi: Dia Berusaha Bantu, tapi Fatal
"Dan pendidikan karakter kalau sudah perguruan tinggi, itu kan sangat dipengaruhi oleh karakter mereka (pelaku kekerasan) sebelumnya. Jadi waktu dia SD, SMP, SMA itu akan berpengaruh juga sama perilaku dia ketika di perguruan tinggi," ungkapnya.
Selanjutnya, Retno menyebut bahwa faktor penyebab kembali terjadinya kasus kekerasan di STIP juga bisa berkaitan dengan regulasi.
Retno menjelaskan, regulasi yang ada di perguruan tinggi saat ini baru regulasi soal kekerasan seksual, yang mana ini tertuang pada Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021.
Regulasi yang berkaitan dengan bullying atau perundungan dan kekerasan fisik di perguruan tinggi masih belum ada.
"Justru (regulasi) sudah ada malah di level satuan pendidikan di bawah jenjang perguruan tinggi negeri. Jadi, SD SMP, dan SMA itu ada Permendikbudristek 46 tahun tahun 2023, tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dengan melibatkan pemerintah daerah untuk pemulihan, atau untuk penanganan," ujarnya.
"Nah regulasi serupa mestinya ada juga di level perguruan tinggi atau Permendikbudristek ini diperluas. Jadi kalau sebelumnya hanya satuan pendidikan di jenjang mulai dari TK sampai SMA atau SMK, maka harus dibuat untuk jenjang yang lebih (perguruan tinggi)," imbuhnya.
Baca juga: Kasus Penganiayaan Putu Satria oleh Senior, STIP Masih Bungkam