JAKARTA, KOMPAS.com — Penumpukan angkutan umum di perempatan tentu menjadi pemandangan yang lazim ditemui di Jakarta. Padahal, sering kali kita bisa menyaksikan sudah ada rambu larangan untuk berhenti di tempat tersebut. Perilaku sopir angkutan umum yang cenderung tak taat aturan itulah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kemacetan arus lalu lintas di Ibu Kota.
Sopir angkutan umum yang berhenti di sembarang tempat juga memiliki alasan tersendiri. Alasan utama, tentu saja, ialah untuk mendapatkan banyak penumpang demi memenuhi setoran. "Susah kalau enggak berhenti di sini (perempatan). Kan penumpang banyaknya di sini," ujar Irfan (35), salah satu sopir mikrolet, di perempatan Slipi.
Hal serupa juga dikemukakan Agus (29), salah satu sopir kopaja, yang biasa ngetem di depan Robinson, Pasar Minggu. "Kita enggak berhenti (ngetem) kalau ada petugas datang aja. Kalau enggak ada petugas, mau enggak mau harus berhenti karena penumpang," ujar dia.
Para pakar transportasi telah berulang kali menyatakan bahwa sudah saatnya sistem setoran dihapus dari pengelolaan angkutan umum di Jakarta. Sebab, selain menjadi salah satu akar penyebab kemacetan, sistem setoran juga membuat perilaku mengemudi sopir angkutan umum menjadi liar dan ugal-ugalan.
Pernyataan para pakar transportasi pun sejalan dengan upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kendali Gubernur Joko Widodo dan wakilnya, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Ahok bahkan telah berulang kali menyatakan bahwa sistem setoran seharusnya dihapus menjadi sistem pembayaran per kilometer.
"Pola transportasi massal yang cocok di Jakarta adalah pembayaran per kilometer. Pemerintah ambil sebagian risiko," ujar dia pada sekitar pertengahan 2013.
Bagaimana kelanjutan mengenai upaya tersebut, mengingat tak lama lagi kepemimpinan Jokowi-Ahok akan segera memasuki usia dua tahun?
Tak ada perkembangan
Direktur Institute Transportation for Development Policy (ITDP) Indonesia, Yoga Adiwinarto, menilai, sejauh ini belum ada upaya yang serius untuk menghapus sistem setoran. Indikatornya adalah diterapkannya sistem setoran pada layanan angkutan umum bus yang justru tergolong baru, seperti APTB dan kopaja AC.
Padahal, kata Yoga, APTB dan kopaja AC seharusnya menjadi percontohan dalam upaya penghapusan sistem setoran. Terlebih lagi, kedua bus tersebut merupakan bus yang diperkenankan melewati busway, jalur khusus untuk bus transjakarta yang tidak menggunakan sistem setoran.
Menurut Yoga, sampai sejauh ini, bus APTB dan kopaja AC masih menggunakan sistem setoran. Hal itu menyebabkan penumpang transjakarta yang pindah ke kedua bus itu harus mengeluarkan lagi biaya tambahan walaupun mereka naik dari halte transjakarta.
"Jadi, harusnya kopaja AC dan APTB itu dibayar per kilometer (seperti transjakarta), minimal pembayaran selama bus berada di jalur busway sehingga tidak ada perbedaan pembayaran saat penumpang transjakarta naik kopaja ataupun APTB. Jadi, penumpang tinggal naik turun aja, enggak perlu bayar-bayar lagi selama itu dilakukan di jalur transjakarta," papar Yoga kepada Kompas.com.
Layanan integrasi setengah hati
Karena masih menerapkan sistem setoran itu, Yoga menganggap APTB dan kopaja AC sebagai layanan integrasi setengah hati. Karena yang terintegrasi dengan transjakarta hanya jalurnya saja, sementara pada operasional dan pembayarannya masih menggunakan pola lama laiknya bus-bus tua.
"Harusnya kalau soal integrasi itu bukan cuma fisik aja, tapi juga integrasi sistemnya, misalnya dalam hal keuangan dan pembayaran operasional bus. Integrasinya menyeluruh, mencakup tiga hal, yakni pembayaran, operasional, dan fisik," papar dia.
Yoga menilai, apabila Pemerintah Provinsi DKI melalui PT Transjakarta bisa menghapus sistem setoran pada APTB dan kopaja AC, hal itu tentu akan berdampak pada angkutan-angkutan umum lainnya, termasuk pada angkutan-angkutan yang tidak melalui jalur transjakarta.
"Kalau bisa terlaksana, ini bisa meningkatkan kinerja seluruh angkutan umum yang ada di Jakarta. Nantinya, yang non-busway juga akan menjadi bagian dari busway," pungkas Yoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.