Kerangka bambu ondel- ondel dijejer di sepanjang Jalan Raya Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat, medio Januari lalu. Beberapa ondel-ondel yang sudah jadi dibiarkan berdiri di pinggir jalan. Setiap hari, ondel-ondel yang berdandan cantik dan tampan itu diterpa debu jalan serta asap kendaraan bermotor yang melintas di jalan tersebut.
Mulyadi (48), salah seorang perajin ondel-ondel, duduk bersama istrinya di bantaran kali yang mengalir di depan kampung. Istrinya sedang membuat hiasan bunga kelapa dari kertas minyak berwarna-warni. Tepat di bawah pasangan ini duduk, air keruh mengalir pelan membawa aneka sampah dan kotoran. Di sudut lain, di jalan dan gang-gang permukiman padat ini pun terlihat pria-pria lain berkutat dengan kerangka ondel-ondel.
Menurut Mulyadi, hampir seluruh warga RW 003 Kelurahan Kramat Pulo mata pencariannya berhubungan dengan ondel-ondel. Ada yang menerima pesanan ataupun memiliki ondel-ondel dan dipinjamkan untuk mengamen. Harga ondel-ondel lengkap dengan pakaiannya Rp 3,5 juta. Pemesan berasal dari Probolinggo, Madura, Surabaya, dan wilayah lain di Indonesia.
Mula-mula, kerangka ondel- ondel dibuat dari bahan bambu, kawat bendrat, dan ijuk. Tinggi ondel-ondel 1,5-2 meter. Selain kerangka, ondel-ondel juga membutuhkan topeng, baju, dan hiasan bunga-bunga di bagian kepala. Total masa pengerjaan 3-7 hari.
"Saya belajar membuat ondel-ondel dari bapak saya. Dulu, orang Betawi menyebutnya sebagai barongan," kata Mulyadi.
Dahulu, ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sangat lekat dengan budaya Betawi. Ondel-ondel kerap hadir di pesta rakyat dan berfungsi sebagai penolak bala gangguan roh-roh halus jahat. Kini, kehadiran ondel-ondel dianggap sebagai penyemarak pesta rakyat, pernikahan, ataupun penyambut tamu dalam acara-acara budaya.
Sebagai ikon budaya Betawi yang juga ikon ibu kota Jakarta, tak bisa dimungkiri bahwa ondel-ondel masih bertahan dalam gegap gempita modernitas Jakarta. Namun, ondel-ondel seperti berada di persimpangan jalan. Saat ini, para perajin terdesak di kampung-kampung padat dan kumuh. Bergulat dengan masalah ekonomi dan sosial yang pelik.
Pengamen
Di Kramat Pulo, beberapa orang memiliki ondel-ondel yang dipinjamkan untuk bekal mengamen. Tak hanya memiliki ondel-ondel, para "bos" itu juga punya sound system lengkap untuk menyetel musik pengiring ondel-ondel ngamen. Para pengamen umumnya remaja tanggung. Ada yang putus sekolah, yang baru dipecat dari pekerjaan, atau mereka yang masih menunggu panggilan pekerjaan.
Anam (14) hanya menuntaskan sekolah sampai SMP. Ibunya hanya buruh cuci gosok berpenghasilan minim. Ia memilih menjadi pengamen ondel- ondel mengikuti jejak kakaknya. Dua bersaudara itu bersama beberapa teman lainnya lalu mengamen hingga ke Cililitan, Cipayung, Pondok Gede, dan wilayah lainnya.
"Lumayan, dari ngarak barongan (ondel-ondel) sehari bisa dapat Rp 50.000-Rp 200.000," ujar Anam.
Ondel-ondel untuk mengamen seperti yang dilakukan Anam didapat dari menyewa. Mulyadi adalah salah satu pemilik koleksi ondel-ondel yang kerap dipakai untuk mengamen hingga ke Tangerang dan Bogor. Ada beberapa pemuda berusia 17-20 tahun yang menjadi anak buahnya. Biasanya, ia akan memberikan modal awal senilai Rp 100.000-Rp 130.000 untuk rombongan yang meminjam ondel-ondelnya. Modal itu digunakan untuk menyewa angkot yang membawa mereka ke tujuan mengamen. Para sopir angkot mematok tarif Rp 70.000-Rp 80.000 sekali jalan. Dari tempat mengamen, untuk pulang ke Kramat Pulo, rombongan itu kembali menyewa angkot.
"Susahnya kalau musim hujan. Kami harus mencari tempat berteduh, mau ngamen susah, mau cari angkot untuk pulang juga susah," kata Anam.
Saat mengamen, rombongan ondel-ondel ini pun masih harus terteror dengan aturan. Menurut Mulyadi, kini ondel-ondel dilarang mengamen di jalanan. Jika ketahuan, akan dirazia oleh dinas sosial karena dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).
"Pemerintah tidak pernah tahu masalah ekonomi kami di sini. Namun, mereka selalu merazia saat kami mencari uang untuk makan," ujar Mulyadi.