Salin Artikel

Kisah PNS DKI Menyamar Saat Masuk Kelab Malam demi Genjot Pajak

"Tugas kami ini ya mengejar pajak, kalau ada wajib pajak yang nakal, ya kami kejar ke mana pun sampai dapat," ujar Yp ketika ditemui di kantornya, Selasa (24/10/2017) kemarin. 

Yp menuturkan, di jajarannya ada lima orang pegawai negeri sipil (PNS) yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan lapangan, memastikan jumlah pajak yang disetorkan wajib pajak sesuai dengan kondisi aslinya.

Di Jakarta Selatan, sebagai kota dengan target penerimaan pajak terbesar, juga wilayah dengan hiburan malam terbanyak se-Jakarta, potensi pajak dari sektor itu cukup besar, mencapai Rp 177 miliar.

Sayangnya, tak semua pengusaha tempat hiburan memiliki kesadaran akan pentingnya kontribusi untuk pembangunan Jakarta. Banyak di antara mereka yang sengaja berbohong demi keuntungan pribadi.

Modus yang muncul, kata Yp, perusahaan membuka tempat hiburan, tetapi izin yang terdaftar adalah sebagai restoran. Sehingga, saat urusan pembayaran pajak, maka pajak restoran yang dia bayarkan, bukan pajak tempat hiburan.

Perlu diketahui, pajak untuk restoran berbeda dengan pajak untuk tempat hiburan.  "Selisihnya lumayan, kalau dia tempat hiburan maka bayar pajaknya 25 persen dari pendapatan per bulan, sementara kalau restoran hanya 10 persen," ujarnya.

Badan Pajak yang dulu berbentuk dinas, tidak memiliki kewenangan menerbitkan izin. Dulu izin diterbitkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan sekarang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Namun, Badan Pajak melihat ada celah kemudahan dalam izin itu. Pengusaha kelab malam bisa mendapat izin restoran jika mereka mengaku akan membuka restoran. 

Ini bisa berdampak kepada kehilangan pajak yang signifikan. Padahal, DKI sedang gencar-gencarnya membangun dan menata dirinya.

Yang dilakukan jika ada dugaan kecolongan pajak seperti itu, kata Yp, adalah membuktikannya hingga wajib pajak tak berkutik.

"Saya nyebut tim yang memeriksa ini sebagai 'Tim Indik-indik', karena memang kerjanya diam-diam dia," ujar Yp.

Ys, salah satu anggota tim indik-indik lainnya, bercerita bagaimana hampir setiap malam, seusai pulang kerja, ia berdandan necis agar bisa masuk ke klub malam.



"Ya kalau ke tempat dugem, saya seperti pengunjung biasa pakaiannya. Kalau diminta bayar sama bouncer di depan, ya saya bayar, tidak ngaku-ngaku dari pemerintah," ujarnya.

Yang dikunjungi Ys adalah tempat yang izinnya terdaftar sebagai restoran, namun dari luar terlihat seperti kelab malam.

Hal yang membedakan penggolongan tempat hiburan dengan restoran atau kafe biasa yakni tak bisa sembarang orang masuk. Pengunjung kadang harus menjadi member, atau membayar hanya untuk masuk.

Restoran atau kafe biasa diperbolehkan menyediakan musik (live music) untuk menarik orang datang. Namun, kelab malam menyediakan musik, biasanya disc jockey (DJ) dengan mewajibkan penonton membayar tiket masuk (admission).

Bukti bayar masuk itu, kata Ys, tak cukup untuk membuktikan kelab malam yang dituju menghindari pajak. Ys tetap harus masuk ke dalam untuk menghitung potensi pajaknya. Sebab, wajib pajak melaporkan sendiri keuntungan pajaknya.

Kondisi itu kerap menjadi celah wajib pajak mengurangi pendapatannya agar membayar pajak dalam jumlah yang kecil.

"Setelah masuk di dalam, saya pesan miras juga seperti pengunjung. Ini supaya dapat bukti setruk berisi tarifnya," ujar Ys.

Di dalam kelab malam, Ys tetap harus fokus mencatat dan menghitung diam-diam fasilitas yang ada di dalam, sehingga bisa memperkirakan berapa operasional kelab agar tetap hidup. 

Dia juga menganalisis omzet minimalnya. Tak lupa, ia juga berfoto-foto yang nantinya akan menjadi barang bukti.

Sering kali juga, ketika mengunjungi tempat hiburan berkedok restoran itu, Ys menemui bilik karaoke. Untuk menghitung jumlah pengunjung, ia mengintip-intip atau berusaha membuka pintu bilik. Jika terkunci, itu bisa berarti di dalamnya ada orang.

Ys bertahan di dalam hingga tutup sekitar pukul 04.00 pagi hari. Pukul 07.30, Ys sudah harus berada di kantor.

Ia datang untuk apel atau upacara, namun setelah itu dibebaskan untuk tidur beristirahat. Kegiatan semacam ini dilakukan berulang hampir setiap hari oleh dia dan empat anak buahnya.

Jika bukti dan analisis sudah disusun, pemilik kelab biasanya akan dipanggil. Mereka tak berkutik ketika dipaparkan bahwa tempat mereka berbeda jauh dari izin restorannya.

"Bulan ini saja sudah dapat empat tempat yang akhirnya mengubah izinnya karena kerja yang seperti itu," ujar Ys.

Hebatnya lagi, kebanyakan uang yang dikeluarkan untuk kegiatan ini berasal dari uang insentif para PNS sendiri. Jika dibandingkan dengan potensi penerimaan pajaknya, pengeluaran mereka jauh di bawah uang yang masuk ke kas DKI.

"Cuma satu yang saya sendiri enggak masukin, itu yang ketangkap kemarin, T1 Spa," ujarnya.

 Sebelum terbongkarnya T1 Spa oleh kepolisian, Ys yang dulu bertugas di Jakarta Pusat pernah mengecek tempat yang izinnya untuk kebugaran itu. Pemeriksaan pajak itu akhirnya berbuntut pada penyelidikan polisi.

Mengingat fungsi tim indik-indik ini bisa menaikkan pendapatan pajak, ia berharap ke depan jumlah personel di Badan Pajak ditambah. Tentu saja tujuannya agar pekerjaan mereka  menjadi lebih ringan dan penerimaan pajak juga semakin besar.

https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/25/10310571/kisah-pns-dki-menyamar-saat-masuk-kelab-malam-demi-genjot-pajak

Terkini Lainnya

NIK KTP Bakal Dijadikan Nomor SIM Mulai 2025, Korlantas Polri: Agar Jadi Satu Data dan Memudahkan

NIK KTP Bakal Dijadikan Nomor SIM Mulai 2025, Korlantas Polri: Agar Jadi Satu Data dan Memudahkan

Megapolitan
8 Tempat Makan dengan Playground di Jakarta

8 Tempat Makan dengan Playground di Jakarta

Megapolitan
Pegi Bantah Jadi Otak Pembunuhan, Kuasa Hukum Keluarga Vina: Itu Hak Dia untuk Berbicara

Pegi Bantah Jadi Otak Pembunuhan, Kuasa Hukum Keluarga Vina: Itu Hak Dia untuk Berbicara

Megapolitan
Polisi Tangkap Pria Paruh Baya Pemerkosa Anak Disabilitas di Kemayoran

Polisi Tangkap Pria Paruh Baya Pemerkosa Anak Disabilitas di Kemayoran

Megapolitan
Pengamat: Jika Ahok Diperintahkan PDI-P Maju Pilkada Sumut, Suka Tak Suka Harus Nurut

Pengamat: Jika Ahok Diperintahkan PDI-P Maju Pilkada Sumut, Suka Tak Suka Harus Nurut

Megapolitan
Pria Tanpa Identitas Ditemukan Tewas Dalam Toren Air di Pondok Aren

Pria Tanpa Identitas Ditemukan Tewas Dalam Toren Air di Pondok Aren

Megapolitan
Polisi Dalami Keterlibatan Caleg PKS yang Bisnis Sabu di Aceh dengan Fredy Pratama

Polisi Dalami Keterlibatan Caleg PKS yang Bisnis Sabu di Aceh dengan Fredy Pratama

Megapolitan
Temui Komnas HAM, Kuasa Hukum Sebut Keluarga Vina Trauma Berat

Temui Komnas HAM, Kuasa Hukum Sebut Keluarga Vina Trauma Berat

Megapolitan
NIK KTP Bakal Jadi Nomor SIM Mulai 2025

NIK KTP Bakal Jadi Nomor SIM Mulai 2025

Megapolitan
Polisi Buru Penyuplai Sabu untuk Caleg PKS di Aceh

Polisi Buru Penyuplai Sabu untuk Caleg PKS di Aceh

Megapolitan
Tiang Keropos di Cilodong Depok Sudah Bertahun-tahun, Warga Belum Melapor

Tiang Keropos di Cilodong Depok Sudah Bertahun-tahun, Warga Belum Melapor

Megapolitan
Polri Berencana Luncurkan SIM C2 Tahun Depan

Polri Berencana Luncurkan SIM C2 Tahun Depan

Megapolitan
Caleg PKS Terjerat Kasus Narkoba di Aceh, Kabur dan Tinggalkan Istri yang Hamil

Caleg PKS Terjerat Kasus Narkoba di Aceh, Kabur dan Tinggalkan Istri yang Hamil

Megapolitan
'Call Center' Posko PPDB Tak Bisa Dihubungi, Disdik DKI: Mohon Maaf, Jelek Menurut Saya

"Call Center" Posko PPDB Tak Bisa Dihubungi, Disdik DKI: Mohon Maaf, Jelek Menurut Saya

Megapolitan
Polisi: Ada Oknum Pengacara yang Pakai Pelat Palsu DPR

Polisi: Ada Oknum Pengacara yang Pakai Pelat Palsu DPR

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke