JAKARTA, KOMPAS.com - Biara Ursulin Santa Maria terletak di dalam kompleks Sekolah Kejuruan Pariwisata Santa Maria di Jalan Juanda Nomor 29, Jakarta Pusat.
Biara ini menjadi bagian penting bagi sudut Kota Jakarta yang lekat dengan budaya Belanda.
Sejarah biara ini berawal pada 7 Februari 1856, rombongan 7 biarawati Ursulin tiba di Batavia dengan kapal Hermaan.
Mereka kemudian tinggal di Noordwijk Straat 29 (sekarang Jl Juanda 29), di bagian kawasan kota Batavia berpengaruh di bekas benteng Rijswijk yang diperbaiki Mayor Schultze atas perintah Daendels tahun 1810.
Lokasi berseberangan dengan Harmonie, kawasan dinamis tempat berkumpulnya para sosialita Belanda zaman itu.
Kebangkitan kaum hawa
Kedatangan 7 biarawati Ursulin dari Rotterdam, Belanda, ke Batavia bak sebuah penanda kebangkitan kaum hawa di Batavia.
Mereka berangkat dengan Kapal Herman, 19 September 1855, dan merapat di Pelabuhan Tanjung Priok pada 7 Februari 1856.
Kala itu, Terusan Suez belum dibuka sehingga kapal harus berlayar ke Batavia mengelilingi Benua Afrika dan melewati Samudra Atlantik selama 140 hari.
Di Batavia, Monsiegneur Vrancken, Vikaris Apostolik Vikariat Batavia (1848-1874), sudah menunggu. Akhir tahun 1853, ia membeli satu rumah di atas lahan nan luas di Noordwijk (kini Jalan Juanda) 29, seharga 30.000 gulden.
Surat rumah atas nama Elisabeth Adriana Roseboom, janda mendiang Jeremias Schill, seorang pemuka Freemanson.
Monsiegneur Vrancken hendak menyerahkan harta tak bergerak itu kepada ketujuh suster untuk asrama dan sekolah.
Pada 1 Agustus 1856 suster pimpinan komunitas, Ursula Meertens, membuka pendaftaran murid baru untuk sekolah khusus putri.
Para siswi tinggal di asrama karena orangtua mereka bekerja di perkebunan di luar kota. Tahun 1881 Sekolah Pendidikan Guru dibuka. Tahun 1896, asrama dihuni 108 siswi.
Adapun pada 1891, Sekolah Kepandaian Putri (Meijes Never Heid School) pun dibuka.
Perluasan arena pendidikan itu tentu saja diikuti perluasan bangunan dan lahan. Pada awal tahun 1874, seorang tetangga, Nyonya Meiland meninggal.
Rumahnya dengan halaman luas akan dijual karena tidak ada yang mengurus. Para suster membeli sebagian halaman Nyonya Meiland untuk Kapel Santa Maria.
Pada akhir Oktober 1888, seorang tetangga dekat sekolah juga menawarkan rumahnya kepada komunitas Ursulin. Tawaran diterima. Lalu, tahun 1896 seorang tetangga menawarkan rumahnya karena akan kembali ke Eropa.
Setelah rumah dan tanah dibeli, luas kompleks Biara Ursulin dan Sekolah Santa Maria pun membentang dari Jalan Noordwijk sampai Jalan Batoe Toelis.
”Setelah lahan terpotong oleh pelebaran jalan, luas lahan saat ini sekitar 2 hektar,” jelas Suster Lucia, pengelola Museum Santa Maria kepada Kompas.
Biara besar dan biara kecil
Tahun 1859, Suster Andre van Gemert OSU membeli satu hotel dengan halaman luas, tepat disamping biara, milik Nyonya Godefroid seharga 35.000 gulden.
Hotel itu kemudian dijadikan biara, asrama, dan sekolah putri yang kini dikenal sebagai SMA Santa Ursula di Jalan Pos (dulu Postweg) Nomor 2.
Biara di Juanda 29 kemudian mendapat nama biara besar (Groot Klooster), sedangkan biara di Jalan Pos 2 disebut sebagai biara kecil (Klein Klooster).
Kehadiran dua sekolah milik para suster Ursulin di Batavia itu, di kemudian hari memicu percepatan dan perluasan pendidikan bagi kaum perempuan di Tanah Air pada awal abad ke-19.
Santa Maria sendiri saat ini menampung 1.668 murid yang terdiri dari siswa-siswi TK-SD, siswi SMP, dan siswi SMK.
"Jurusan SMK Santa Maria paling populer saat ini jurusan tata boga, mungkin karena sekarang lagi ngetren industri kuliner, ya?” ucap Suster Lucia.
Ia menambahkan, sejak kemerdekaan, Sekolah Santa Maria menerima siswa TK dan SD.
"Tetapi untuk SMP dan SMK, kami tetap membatasi sebagai sekolah perempuan,” ujar Suster Lucia.
Restorasi
Tahun 1923, seperti tergambar dalam buku Ursulin, Pendidik Perempuan Pertama di Indonesia, 1856-2016 (Penerbit: Panitia 160 Tahun Biara-Sekolah Santa Maria, Jakarta 2016), kapel dibongkar dan diperluas.
Interiornya pun dibuat jauh lebih sederhana. Meski demikian, kaca-kaca patri jendela, terutama di atas altar, dipertahankan.
Keindahan bangunan pun tak berkurang karena restorasi bangunan dikerjakan biro arsitek ternama, Hulswit Fermont. Ed Cuypers. Kapel selesai dalam waktu 10 bulan.
Namun, buat Suster Lucia, terdapat da hal yang lebih indah dari arsitektur kapel itu, yakni bunyi suara orgel pipa gereja.
”Sekian tahun lalu saya masih mendengar suara orgel pipa tersebut mengiringi koor biarawati di sini,” katanya, awal Juli lalu. Orgel pipa itu didatangkan dari Belanda, Agustus 1924. Orgel dimainkan pertama kali oleh Suster Madeleine de Fulfence.
(Penulis: Windoro Adi)
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/12/26/05150001/menelusuri-sejarah-biara-ursulin-santa-maria-bangunan-penanda-kebangkitan