JAKARTA, KOMPAS.com - Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodebek baru beroperasi secara resmi selama satu hari, yakni pada Senin (28/8/2023).
Meski demikian, banyak warga pengguna LRT Jabodebek yang memberikan kritik atau masukan atas operasional layanan transportasi umum itu.
Beberapa di antaranya, yakni tentang tangga untuk menuju lantai concour atau tempat mesin tap in/tap out, tarif pelayanan, hingga soal pengereman kereta.
Tangga naik dipakai penumpang turun
Fiki Ahmad (42) mengungkapkan kendala di Stasiun LRT Jabodebek Setiabudi, Jakarta Selatan.
Menurut dia, Stasiun LRT Jabodebek Setiabudi dalam kondisi ramai calon penumpang pada Senin siang.
Fiki bersama anak laki-lakinya dan beberapa calon penumpang hendak naik ke lantai concour.
Mereka menggunakan tangga yang memang diperuntukkan untuk naik ke lantai concour, tapi justru dipakai turun oleh sejumlah penumpang lain.
"Itu tadi ada miss. Harusnya tangga (untuk) naik, itu jadi tangga untuk turun. Hampir accident sedikit di situ," ungkapnya ditemui di Stasiun Harjamukti, Depok, Senin.
Warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan tersebut mengatakan bahwa petugas LRT Jabodebek kemudian dengan sigap mengatasi permasalahan yang terjadi.
Menurut Fiki, ia bersama calon penumpang lain yang hendak naik diarahkan untuk menggunakan lift.
"Cepat juga respons dari krunya, mengalihkan ke lift. Jadi tadi kami naik lift," sebutnya.
Pengereman kasar
Sementara itu, mahasiswa Universitas Indonesia bernama Resa (28) mengatakan, selama perjalanan terasa nyaman.
Namun, ia menekankan soal pengereman kereta saat hendak berhenti di tiap stasiun.
"Enak sih pemandangannya lebih bagus karena dari atas. Yang kurang paling itu, sistemnya kan otomatis ya, pas ngerem masih (terasa) mendadak, tadi saya kebetulan duduk sih aman," kata Resa saat ditemui di Stasiun Jatimulya, Kabupaten Bekasi, Senin (28/8/2023).
Ketika mencoba berdiri, Resa merasakan pengereman kereta LRT masih terkesan mendadak dan kasar.
Menurut Resa, masih ada hentakan yang membuat penumpang yang berdiri di dalam kereta harus berpegangan erat agar tidak terjatuh.
"Kalau berdiri pas ngerem lumayan kayak kedorong, mungkin sistemnya mesti diperbaiki lagi. Kurang smooth (halus)," tambah dia.
Selain pengereman, tidak ada catatan lain dari Resa.
Sementara itu, Mae (22) karyawan swasta di Jakarta Selatan mengaku hanya merasakan sedikit hentakan saat kereta mengerem.
"Kalau aku pribadi biasa saja, karena itu aku dapat duduk kan. Tapi pas aku coba berdiri di depan enggak ngerasa terlalu gimana-gimana sih, cuma sedikit terasa saja," kata Mae.
"Tapi yang pasti (pengereman) lebih baik dari KRL," tambah dia.
Keluhan warganet.
Di media sosial, warganet juga mengeluhkan pintu kereta yang terlalu pendek.
Pemilik akun twitter @gerbongbagasi yang menilai pintu kereta terlalu pendek bagi orang yang memilik postur tubuh 180 cm seperti dirinya.
"Mohon maaf ini pintu keretanya pendek & tidak ramah untuk orang setinggi 180 cm. Masuk-keluar kereta nunduk, pindah antar sambungan kereta nunduk, entah ngukur dimensinya pakai standar mana," tulis akun itu.
Sama seperti warga lain, ia juga mengeluhkan sistem pengereman yang masih kasar.
"Sistem driveless-nya seperti yang sudah dijelaskan orang-orang. Kereta sempat berhenti secara tiba-tiba, pengereman tidak mulus, serta posisi antar pintu PSD & kereta tidak presisi," katanya.
Akun twitter @Lenny_diary mengeluhkan waktu berhenti di tiap stasiun yang masih terlalu lama.
Bahkan, ia juga heran mengapa kereta LRT berhenti cukup lama di Stasiun Halim. Padahal, tak ada penumpang yang naik atau turun di stasiun itu karena akses jalan menuju stasiun belum terbangun.
Akibat berhenti cukup lama di tiap stasiun, waktu tempuh LRT belum sesuai harapan.
"Waktu tempuh masih mirip uji coba karena kadang berhenti tiap stasiun beda-beda. Kayak di Halim stop agak lama padahal enggak bisa turun naik penumpang. Maunya dilewatin aja sekalian," ujarnya.
Tarif non-promo dinilai mahal
Saat ini, tarif LRT Jabodebek masih memberlakukan tarif promo. Pelanggan cukup membayar Rp 5.000 untuk rute manapun.
Kendati demikian, saat masa promo nantinya sudah habis, tarif LRT dirasa masih terlalu mahal.
Misalnya, untuk tarif dari Stasiun Jatimulya ke Dukuh Atas dibanderol Rp 23.900.
Resa menilai tarif moda transportasi LRT Jabodebek masih terlalu mahal baginya.
Kepada Kompas.com, Resa berharap tarif LRT Jabodebek dapat ditekan lebih murah lagi supaya bisa dijadikan moda transportasi alternatif selain KRL Commuterline untuk menunjang mobilitasnya.
"Kalau Rp 10.000 masih saya rutinin, tapi kalau (sampai) Rp 24.000 dari Jatimulya ke Dukuh Atas saya skip sih," ujar Resa.
Reza menilai tarif LRT tersebut masih terlalu mahal karena ia masih harus menempuh moda transportasi lain untuk mengantarnya ke kampus.
"Kayak saya ke Dukuh Atas menuju kampus saya di Salemba masih harus naik yang lain (ojol)," sambung dia.
Sementara itu, Fiki menyarankan tarif layanan LRT Jabodebek dari stasiun awal hingga stasiun akhir dipatok Rp 15.000.
Menurut dia, tarif yang tak terlalu tinggi ini agar LRT Jabodebek bisa bersaing dengan layanan transportasi lain, yakni Transjakarta dan kereta rel listrik (KRL).
"Idealnya, dari Stasiun Dukuh Atas ke sini (Stasiun Harjamukti) Rp 15.000, biar imbang sama Transjakarta dan KRL," ucapnya.
Fiki menilai tarif LRT Jabodebek yang nantinya terjangkau akan membuat warga beralih menjadi pengguna transportasi umum.
Dengan demikian, kemacetan serta polusi udara di Jabodetabek bisa secara perlahan teratasi.
"Konsumen banyak pilihan, jadi semangat pakai angkutan umum, mengurangi polusi dan macet juga," tuturnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/29/07405001/catatan-warga-untuk-lrt-jabodebek-dari-pengereman-kereta-hingga-tarif