Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlu Dicari Titik Temu Mengatasi Rokok

Kompas.com - 14/01/2009, 19:53 WIB

JAKARTA, RABU — Pihak-pihak yang pro dan kontra tentang persoalan rokok diimbau untuk duduk bersama dan mencari titik temu bagaimana mengendalikan dampak penggunaan rokok, baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan. Rokok di samping ada unsur kenikmatan, juga ada unsur merusak kesehatan.

"Pemerintah harus mengendalikan dampak terhadap kesehatan itu. Namun jika cukai rokok tinggi, akan ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Pemerintah belum siap untuk itu," kata Kepala Biro Perencanaan Departemen Perindustrian Imam Haryono pada diskusi masalah rokok di Jakarta, Rabu (14/1).

Pada diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) tersebut, selain Imam Haryono, yang juga menjadi pembicara yaitu KH M Luqman Hakim (pemerhati sosial keagamaan sekaligus Direktur Cahaya Sufi Center Jakarta) dan Direktur Eksekutif LSPP Jakarta Ignatius Haryanto.

Sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Menurut catatan Kompas, Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI Abdillah Ahsan pernah menyatakan, kontribusi industri rokok hanya 1,3 persen dari total produk domestik bruto. Menurut hasil studi ekonomi tembakau di Indonesia, jika tarif cukai tembakau dinaikkan sampai 57 persen akan mencegah 2,4 juta kematian akibat rokok dan menambah pendapatan negara Rp 50,1 triliun.  

Pada tahun 2005, biaya kesehatan yang dikeluarkan Indonesia karena penyakit terkait tembakau 18,1 miliar dollar AS atau 5,1 kali lipat pendapatan negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama. "Jadi, kerugian kesehatan akibat rokok jauh lebih tinggi dibanding keuntungan ekonomi," ujar mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Farid Anfasa Moeloek.

Fatwa MUI

Oleh karena itu, pihak yang kontrarokok meminta kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Mengenai fatwa haram ini, KH M Luqman Hakim menyatakan, meskipun fatwa MUI tidak memiliki kaitan terhadap hukum di Indonesia, mayoritas perokok adalah umat Muslim.  

"Fatwa haram jika diteruskan, bukan saja berpengaruh pada kredibilitas perekonomian dari hulu hingga hilir, namun juga kontroversi yang timbul akan memperburuk citra MUI selama ini sebagai lembaga fatwa," kata KH M Luqman Hakim.

Terhadap isu dan persoalan rokok ini, Ignatius Haryanto menyatakan bahwa sebaiknya pers tidak perlu memosisikan diri sebagai pihak yang 'memanas-manasi' pihak yang lain. Tidak perlu hanya mengangkat berita ketika muncul unsur 'sensasi' atau 'konflik yang tinggi', tetapi justru pers harusnya bisa berfungsi sebagai jembatan, sebagai pencari titik temu dari dua kutub yang ada.

"Kita bertanya sekali lagi: Betulkah pihak-pihak yang terlibat dalam masalah ini tidak bisa saling berdialog atau berkomunikasi untuk menemukan jalan kebaikan bersama? Saya pikir pers bisa menjadikan dirinya mengarah pada peran semacam itu," kata Ignatius Haryanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com