Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Monorel, Diteruskan atau Dihentikan

Kompas.com - 04/03/2009, 07:02 WIB

Tersendatnya proyek monorel sebenarnya telah diprediksi oleh banyak pakar transportasi. Prakiraan bahwa proyek ini takkan bisa bertahan didasarkan pada banyaknya kajian yang menyatakan bahwa sistem angkutan umum massal jenis ini memerlukan dukungan subsidi yang besar dari pemerintah.

Sebab itu, niat swasta akan membangun proyek ini, tanpa dukungan dana pemerintah, patut dipertanyakan. Pengalaman dan kasus beberapa kota besar, seperti Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila, yang mencoba membangun sistem transportasi sejenis memperlihatkan ketidakmampuan sistem ini untuk melakukan pembiayaan sendiri.

Artinya, jika dipaksakan, sistem tersebut berpotensi membebani pemerintah kalau kinerjanya buruk. Padahal, dana pemerintah adalah uang yang dikumpulkan dari publik. Dengan demikian, jika timbul masalah dalam proyek monorel, otomatis bebannya akan dipikul oleh masyarakat.

Atas dasar itu, analisis risiko harus dilakukan secara cermat dan hasil analisis itu dibeberkan secara transparan kepada publik. Namun, langkah itu tidak dilakukan karena proyek monorel tersebut akhirnya dilakukan melalui penunjukan dengan melalui perjanjian kerja sama.

Salah sejak awal

Salah satu dari karakteristik dasar infrastruktur transportasi adalah sifatnya yang padat modal dan tingginya kemungkinan sunk cost, yakni biaya yang tidak dapat dikembalikan dan bersifat penyertaan pemerintah. Proyek monorel Jakarta diperkirakan akan memakan biaya 650 juta dollar AS , yang terdiri atas jalur hijau 14,8 kilometer (km) rute melingkar dan jalur biru 13 km rute timur-barat.

Jalur biru memang tidak layak untuk dikembangkan dengan monorel karena diperlukan sistem angkutan umum massal yang memiliki kapasitas lebih besar, sekelas subway atau light rail train (LRT).

Oleh karena itu, hampir dipastikan jalur biru akan diredesain, sedangkan jalur hijau yang melingkar dan menghubungkan pusat-pusat perkantoran, perbelanjaan, dan niaga dapat diteruskan dengan beberapa pertimbangan. Apabila jadi, jalur hijau ini akan seperti monorel di Sydney (Australia) dan Seattle (Amerika Serikat).

Walaupun diinisiasi swasta, pada akhirnya keikutsertaan pemerintah secara langsung (kasus bail out pinjaman swasta di Kuala Lumpur hingga lebih 25 persen dari total investasi) maupun tidak langsung (misalnya insentif pembebasan pajak, partisipasi BUMN dengan bunga murah, dan pemberian hak atas koridor) sangat mungkin terjadi.

Kini yang menjadi pertanyaan kunci adalah apakah perlu meneruskan atau menghentikannya? Namun, dengan tiang- tiang yang telah terpancang di banyak tempat di Jakarta, pemerintah berada pada tahap point of no return.

Harus digarisbawahi, pengambilalihan proyek tersebut oleh pemerintah melalui APBD Provinsi DKI Jakarta maupun APBN itu akan diambil dari dana para pembayar pajak. ”Untuk itu, perlu kehati-hatian dalam meneruskan proyek infrastruktur yang gagal karena dapat menyangkut subsidi tahunan untuk operasi dan pemeliharaan.” kata Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Susantono.

Dia mengatakan, kalau mau diteruskan, harus melalui tender ulang yang terbuka, kompetitif, fair, dan akuntabel kepada publik. ”Jangan mengulang kesalahan yang sama dengan menunjuk langsung investor karena telah banyak kasus di berbagai negara dengan modus seperti ini dan berakhir dengan kegagalan," kata Bambang.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang proyek ini secara komprehensif. ”Lakukan kaji ulang terhadap total investasi yang telah dikerjakan dan yang akan dikerjakan. Uji tuntas harus dilakukan untuk aspek teknis, finansial, dan legal,” katanya.

Di samping itu juga dilakukan analisis risiko sehingga tergambar jelas potensi risiko yang akan dipikul oleh publik. Lalu, konsultasikan kepada publik rencana proyek tersebut. Dengan demikian, masyarakat mendapat informasi atas risiko dan konsekuensi keberadaan proyek itu.

Semua hal tersebut sebetulnya sudah ada acuannya, yaitu Perpres Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Pembangunan Infrastruktur. Tinggal diikuti saja langkah-langkahnya secara konsekuen. Melalui proses yang transparan dan tender terbuka diharapkan publik mendapatkan hasil yang terbaik.

Saat ini harus dilakukan uji tuntas finansial dan legal untuk mengetahui seberapa jauh investasi sudah dilakukan. Sayangnya, proyek ini sudah membangun begitu banyak tiang pancang sehingga mau tidak mau harus diteruskan. Inilah karakteristik infrastruktur yang memiliki potensi sunk cost tinggi, di mana biaya yang tertanam tidak dapat dikembalikan.

Apabila transparansi dan akuntabilitas dijaga sejak awal, publik mungkin maklum akan kemungkinan timbulnya subsidi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com