Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RS Sumber Waras Malah Sarankan Budi Berobat Jalan

Kompas.com - 03/07/2009, 16:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Penderita ginjal bernama Budi Suyanto (46) yang merasa ditelantarkan Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta Barat (RSSW) pagi tadi (3/7) disarankan dokter dari rumah sakit tersebut untuk berobat jalan.

Keputusan ini sempat membuat keluarga Budi kaget. Dokter yang sama pula yang menyatakan bahwa Budi menderita penyakit ginjal dari hasil foto rontgen dan menyarankan untuk operasi. "Waktu itu saya diberi pilihan, mau operasi atau laser. Saya sih pilih laser," kenang Budi saat ditemui di tempat ia dirawat di Jakarta, Jumat (3/7). Operasi sendiri butuh biaya Rp 15 juta sedangkan laser Rp 6.333.000.

Budi yang memakai baju kotak-kota kecil biru tersebut masih tampak lemas. Saat ke toilet, jalannya masih diseret sembari memegangi pinggang belakang sebelah kanan. "Memang agak mendingan jika dibanding pada hari pertama, tapi masih cenut-cenut di pinggang kanan. Kalau lagi pas kumat, sakitnya bukan kepalang," tutur ayah 6 anak itu.

Sampai saat ini Budi yang rambutnya mulai menguban dan keluarga masih belum mengerti alasan kenapa ia disarankan berobat jalan. Karena ketidakmengertian itu, keluarga sempat menduga mungkin ini cara pihak rumah sakit meminta Budi untuk pulang. Dugaan keluarga tersebut, tampaknya berdasar pada proses pengobatan dan perawatan Budi sejak awal di rumah sakit ini.

Mulanya, hari Jumat (26/6) Budi yang beristrikan Amini (44) ke Rumah Sakit Sumber Waras karena mengeluh pinggangnya sakit. Setelah diperiksa kondisi Budi membaik, sehingga ia memaksakan untuk pulang. "Namun keesokan harinya (27/6) pinggang saya sakit sekali dan datang lagi ke rumah sakit dan mulai menginap," ungkap Budi yang didamping anak ketiganya Pratiwi Bekti (21).

Menurut penuturan Hendra Pramesta (23), anak ketiga Budi, sejak hari pertama Budi dirawat, ia sudah meyakinkan ke bagian pendaftaran RSSW bahwa pihaknya sedang mengurus Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM) untuk Budi. "Kemudian saya tanda tangan supaya ayah saya bisa dirawat," ungkap Hendra. Mengurus SKTM ternyata, tambah Hendra, tidak bisa segera didapat. Karena puskemas, tempat untuk mengurus SKTM, tutup di hari Sabtu-Minggu.

"Adik saya (Pratiwi) baru bisa mengurus SKTM hari Senin, namun baru didapat hari Selasa (30/6)," ungkapnya. Selanjutnya, hari Senin (29/6) Budi dirontgen. "Pada waktu itu dokter (dr. Zainal) mengatakan bahwa bapak ada batu ginjal dan mesti dioperasi atau dilaser," ungkap Hendra.

Biaya rontgen sendiri Rp. 975.000 dan mereka baru bayar Rp. 300.000. Keesokan harinya (30/6), lanjut Hendra, SKTM sudah jadi. Pratiwi menjelaskan bahwa pada hari itu ia mengajukan SKTM yang sudah didapatnya kepada pihak rumah sakit yang mengurus SKTM, yang katanya bernama Dodi.

"Anehnya, saya yang datang jam 2 siang kok sudah tutup. Kan bagian administrasi tutup jam 16.00. Pak Dodi ada tapi ia langsung pulang aja," papar Pratiwi.

Walaupun merasa kesal, Pratiwi kembali ke Dodi keesokan harinya (1/7). "Lagi-lagi saya dicuekin. SKTM saya tidak dilihat dan ia malah asyik dengerin musik dari komputer," tuturnya.

Merasa urusan belum selesai, keluarga melalui Hendra kembali menghadap Dodi pada hari itu juga. Tapi reaksinya tetap saja. Lebih lanjut, Keluarga kembali dikejutkan ketika ada tagihan dari rumah sakit sebesar Rp. 2.500.000.

Menurut penuturan Hendra uang tersebut merupakan biaya dari hari pertama (27/6) sampai tanggal 30 Juni 2009. "Padahal saya sudah sejak awal sudah mengatakan akan memakai SKTM, tapi masih diurus. Tapi dicuekin dan tanpa sepengetahuan kami, kami didaftarkan sebagai pasien umum," tutur Hendra.

Akhirnya, tambah Hendra, tagihan tersebut dilunasi karena Budi dijanjikan akan dioperasi. Namun yang terjadi, operasi bisa dilangsungkan jika keluarga sudah punya uang Rp. 3 juta untuk biaya laser atau separuh dari keseluruhan biaya tersebut. "Kami kaget dong. Baru saja membayar Rp. 2.500.000 ribu dengan harapan bapak bisa dilaser, malah disuruh bayar lagi," sesal Hendra.

Ironisnya, uang Rp. 2.500.000 tersebut adalah cadangan untuk Indah Purwaningsing (15), anak keempat Budi, masuk SMA. Dengan demikian sekolah Indah terpaksa ditunda. Keberatan dari pihak keluarga ternyata ditanggapi dingin dari pihak rumah sakit. "Kalau tidak mau bayar tidak apa-apa, tapi bayar dulu Rp.700.000 untuk biaya perawatan," kata Hendra mengulang kata-kata Dodi pada tanggal 2 Juli 2009.

Biaya perawatan yang dimaksud untuk tanggal 1-2 Juli 2009. Lebih jauh, karena keluarga melihat rumah sakit kurang serius menangani Budi maka mereka memutuskan hari ini (3/7) untuk check out dan pulang. "Jika benar dilaser, kami khawatir ngerjainnya tidak 100 persen, dengan keterpaksaan. Kami berencana pulang dan pindah ke rumah sakit Cengkareng," tutur Hendra, yang beralamat di Jl. Kapuk Raya Pasar Darurat Cengkareng.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com