Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cukai Dinaikkan, Kesehatan Meningkat

Kompas.com - 28/08/2009, 20:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Jika harga cukai tembakau dinaikkan, daya beli masyarakat yang kurang mampu untuk membeli rokok akan berkurang dan kesehatan masyarakat pun meningkat. Kenaikan cukai tembakau memang tidak serta-merta menghentikan kebiasaan para perokok dewasa, tetapi bisa efektif untuk menghentikan perokok pemula.

“Sebanyak 26 persen orang meninggal dunia di Indonesia karena merokok. Sedangkan 25.000 orang meninggal dunia karena menjadi perokok pasif,” kata Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry B Harmadi, di Jakarta, Jumat (28/8).

Cukai rokok yang rendah membuat harga rokok menjadi murah. Harga satu bungkus rokok merek lokal termurah di Singapura Rp 66.000, di Malaysia Rp 13.800, di Thailand Rp 7.900, sedangkan di Indonesia Rp 5.000.

Berdasarkan laporan monitoring harga jual eceran (HJE) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, terlihat bahwa HTP untuk setiap jenis rokok dan golongan produksinya lebih rendah dari HJE yang ditetapkan oleh pemerintah. Secara rata-rata HTP hanya 69 persen dari HJE. Perbedaan paling mencolok adalah untuk rokok sigaret kretek tangan golongan III yang diproduksi di bawah 500 juta batang per tahun, HTP-nya hanya 53 persen dari HJE.

“Artinya pengusaha rokok mengurangi profit margin untuk menyubsidi rokok agar harga jual terjangkau. Contohnya rokok satu pak dibanderol Rp 10.500, tapi dijual Rp 9.500,” kata Sonny.

Fakta ini menunjukkan bahwa produsen rokok menanggung sebagian dari beban cukai rokok yang seharusnya ditanggung oleh perokok sehingga implikasi penurunan konsumsi rokok akibat peningkatan cukai rokok menjadi lemah akibat perilaku produsen rokok seperti itu.

Rokok yang dijual murah bahkan dapat dibeli secara eceran itu membawa dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Lebih dari 70.000 artikel ilmiah menyimpulkan bahwa konsumsi rokok akan meningkatkan risiko terkena berbagai penyakit berbahaya, seperti penyakit jantung, stroke, berbagai penyakit paru, gangguan pada kehamilan, serta berbagai kanker seperti kanker mulut, tenggorokan, kandung kemih, bibir, pipi, lidah, pankreas, esofagus, dan kanker leher rahim.

“Ke depan Indonesia memang akan menghadapi penyakit-penyakit tidak menular seperti ini. Apalagi dalam satu batang rokok mengandung 44.000 senyawa kimia yang karsinogenik yang berdampak tidak baik bagi kesehatan,” kata Yusharmen, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan.

Konsultan Badan Kesehatan Dunia/WHO Dr Sarah Barber menilai, masalah rumitnya cukai tembakau di Indonesia justru mengganjal keefektifan upaya pengendalian dampak buruk tembakau bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Karena itu, sistem cukai tembakau di Indonesia perlu disederhanakan. Ini akan memperpendek jarak antara harga rokok termahal dan harga rokok termurah.

Sementara itu, Suahasil Nazara, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menegaskan kaitan kuat antara kesehatan masyarakat dan kesehatan ekonomi. Masyarakat yang sehat akan mampu menjadi agen ekonomi yang kuat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konsumsi rokok yang menurunkan kualitas kesehatan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bukan saja karena semakin banyaknya korban dampak merokok berjatuhan pada usia produktif, melainkan juga dampak ekonomi yang berkepanjangan, mulai dari berkurangnya belanja rumah tangga untuk keperluan makanan bergizi dan pendidikan anak-anak sampai biaya perawatan kesehatan bagi anggota keluarga yang jatuh sakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com