Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah di Jakarta Bukan Hanya Soal Air

Kompas.com - 05/10/2009, 07:41 WIB

Kesalahan penataan ruang

Nirwono Joga, ahli arsitektur lanskap menyatakan, Jakarta memang tidak lepas dari berbagai macam bencana, yaitu banjir, kemacetan, kekeringan, dan kebakaran. Semua itu adalah akibat dari kesalahan penataan ruang berlarut yang terjadi lebih dari 30 tahun terakhir. Pembangunan dibiarkan berlangsung liar. Pusat-pusat ekonomi berupa perkantoran, pasar, dan kawasan industri tumbuh menjamur.

Tanpa pengawasan, Jakarta menjadi kota yang terus menarik para pencari kerja. Penduduk terus bertambah, sementara daya ekonomi tidak mendukung; permukiman kumuh pun muncul. Keterbatasan ekonomi dan pendidikan menyebabkan penghuni permukiman padat hanya terfokus pada upaya menyambung hidup tanpa memedulikan keamanan, termasuk dari bahaya kebakaran dan banjir.

Pemerintah pun seakan terlambat menyadari bahaya yang mengancam warganya. Peralatan minim yang dimiliki Pemprov DKI membuktikan kealpaan atau mungkin ketidakpedulian pemerintah itu.

Pada 1920-an, seperti dalam Kompas (15/7), banyak permukiman di Jakarta dilengkapi dengan gang kebakaran (brandgang). Gang ini berupa jalan yang dibangun di bagian belakang deretan rumah berfungsi sebagai akses masuk peralatan pemadam kebakaran dan jalur evakuasi. Kini, brandgang nyaris tidak bisa dirunut lagi keberadaannya. Semua celah kecil, bahkan di tepi kali sempit pun, dipakai untuk mendirikan rumah.

Selain itu, DKI kini hanya memiliki 3.000 petugas pemadam dari total 6.000 petugas yang dibutuhkan. Jumlah mobil sektor, yakni mobil pemadam yang bisa digunakan di kawasan sempit, hanya tersedia 10 unit. Padahal, kebutuhannya minimal adalah satu mobil sektor untuk setiap kecamatan di Jakarta.

Buruknya lagi, Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) dan Penanggulangan Bencana (PB) DKI mencatat, dari 1.493 unit hidran di Jakarta, 40 persen atau 599 unit di antaranya tidak berfungsi. Akibatnya, ketika terjadi kebakaran, seperti di Penjaringan, Jakarta Utara, yang menghanguskan 1.158 rumah, api tidak bisa cepat dipadamkan. Ratusan hidran yang bermasalah itu antara lain tidak ada aliran airnya, ada bagian-bagiannya yang hilang atau dicuri, dan ada yang rusak parah.

Data bulan September 2009 di Suku Dinas Damkar dan PB Jakarta Utara, dari 264 hidran yang ada, hanya tujuh hidran yang kualitasnya memenuhi standar. Hidran itu mempunyai aliran yang besar. Sebanyak 11 hidran mengeluarkan aliran air sedang dan 109 aliran air kecil.

”Kalau aliran kecil seperti ini, untuk masuk ke dalam tangki mobil pemadam saja tidak kuat. Padahal, air di dalam hidran tidak boleh disedot pompa karena bisa merusak pompa. Kalau aliran besar, untuk memenuhi tangki mobil ukuran 4.000 liter hanya butuh waktu 10-15 menit,” kata Ngarno, Kepala Sudin Damkar dan PB Jakarta Utara.

Bisa dibayangkan, jika sebagian besar hidran yang ada alirannya kecil, kesempatan api menjalar lebih luas lagi semakin besar. Khusus terkait hidran yang kering atau tidak memiliki aliran air, Wakil Gubernur DKI Prijanto pekan lalu meminta PT Palyja dan PT Aetra, selaku operator PAM Jaya, bertanggung jawab. Menurut Prijanto, kedua operator diminta mengecek pasokan air untuk hidran di wilayah kerja masing–masing.

”Ini menyangkut nyawa manusia, jangan main-main. Toh, DKI juga akan membayar sesuai banyaknya penggunaan. Mudah saja memantaunya dari meteran penggunaan air di setiap fasilitas hidran yang ada,” kata Prijanto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com