Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revitalisasi Perkebunan Karet Gagal

Kompas.com - 23/10/2009, 18:26 WIB

MEDAN, KOMPAS.com - Revitalisasi perkebunan untuk tanaman karet di Indonesia dinilai gagal. Dari 300.000 hektar kebun karet rakyat yang membutuhkan peremajaan, program revitalisasi hanya menyentuh kurang dari 5.000 hektar.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Karet Chairil Anwar, tingkat peremajaan karet selama lima tahun terakhir yang hanya menyentuh kurang dari 5.000 karet rakyat, menjadi salah satu indikasi kegagalan program revitalisasi. Chairil mengungkapkan, revitalisasi perkebunan karet rakyat tak bisa hanya diserahkan ke perusahaan perkebunan swasta dengan pola kerja sama inti-plasma.

Selama ini program revitalisasi untuk karet lebih bertumpu pada perkebunan swasta dengan pola inti-plasma. Sementara tak semua perusahaan p erkebunan punya komitmen membantu peremajaan kebun karet rakyat, karena beberapa persoalan seperti keabsahan lahan kebun rakyat sendiri, ujar Chairil di Medan, Jumat (23/10).

Chairil menuturkan, perkebunan karet di Indonesia seluas 3,2 juta hektar, 85 persen di antaranya adalah kebun karet rakyat. Hanya 15 persen atau sekitar 500.000 hektar milik perkebunan besar. Kondisi kebun karet rakyat ini juga memprihatinkan, karena 300.000 hektar di antaranya harus segera menjalani peremajaan, dan ini yang baru ter sentuh program revitalisasi perkebunan masih di bawah 5.000 hektar. Sekitar 1.000 hektar ada di Sumut dan yang paling banyak di Sumatera Selatan, sekitar 2.000 hektar, ujarnya.

Belum dilakukannya peremajaan kebun karet rakyat membuat produktivitasnya sangat rendah. Produktivitas karet di Indonesia jadi tidak optimal. Tingkat produksinya berkisar 800.000 sampai 900.000 kilogram perhektar setiap tahunnya. Padahal kalau diremajakan dengan bibit kloning unggul, paling tidak tingkat produktivitas kebun rakyat bisa menghasilkan hingga 1,5 sampai 2 ton perhektar setiap tahunnya, ujar Chairil.

Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah justru memaparkan kondisi yang lebih buruk terkait tingkat produktivitas kebun karet rakyat. Produktivitas kebun karet rakyat saat ini hanya 300 kilogram perhektar setiap tahunnya, ujar Edy.

Gapkindo lanjut Edy berkepentingan terhadap tingkat produktivitas kebun karet petani karena operasional pabrik pengolahan karet mereka, terkait langsung dengan pasokan karet rakyat. Dari kapasitas terpasang pabrik pengolahan karet rakyat di Sumut sebanyak 750.000 ton pertahun, yang bisa dipasok maksimal hanya 500.000 ton. Itu pun karet yang masuk bukan hanya dari Sumut, tetapi juga ada yang dari Aceh dan Sumsel. Kalau saja, produktivitas kebun karet rakyat ini bisa ditingkatkan tiga kali lipat dari sekarang, kami sudah sangat bersyukur, kata Edy.

Menurut Chairil, program revitalisasi perkebunan untuk tanaman karet hanya bisa berjalan baik jika ada keterlibatan langsung dari pemerintah daerah. Pemerintah pusat misalnya memberi bantuan benih klon unggul dan pupuk, sementara pemerintah daerah memberikan penyuluhannya, kata Chairil.

Pola program revitalisasi ini juga harus menggunakan model Unit Pelaksana Proyek (UPP) di beberapa daerah yang dianggap sentra produksi. Jadi tetapkan saja daerah sentra produksi ini menjadi UPP , nanti pemda setempat bertanggung jawab terhadap keberhasilannya. "Pemda kan yang langsung membina petani nantinya," kata Chairil.

Petani karet lanjut Chairil juga masih enggan melakukan program revitalisasi karena tak ada jaminan, saat mereka melakukan peremajaan, selama lima tahun kebunnya tak menghasilkan. Siklus tanam karet ini kan berlangsung selama 25 tahun. Lima tahun pertama tanam masih belum menghasilkan. "Nah selama menunggu menghasilkan ini, petani kan juga khawatir, dari mana nanti mereka dapat penghasilan," katanya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com