Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Babeh Diancam Hukuman Mati

Kompas.com - 13/01/2010, 19:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Tersangka mutilasi, B alias Babeh (48), diancam hukuman mati. Ia tak bakal dialihkan ke rumah sakit jiwa. Sebab, ia bukan psikopat. Ia sanggup menjalin hubungan sosial dengan baik dan melakukan kejahatan karena pilihan sadar.

Demikian rangkuman wawancara terpisah dengan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Boy Rafli Amar, Kriminolog UI Erlangga Masdiana, dan Adrianus Meliala, serta psikolog dan dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Lia Sutisna Latif, Rabu (13/1/2010).

”Dia kami jerat dengan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana subsider Pasal 338 tentang Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati,” ujar Boy.

Menurut dia, meski saat ini polisi baru menemukan dugaan tersangka membunuh tiga anak, tetapi kuat dugaan, korbannya lebih dari itu. ”Polisi masih mendalami kemungkinan ini,” ucap Boy.

Bukan psikopat

Meliala berpendapat, B adalah pembunuh berantai. Pembunuh berantai bisa psikopat, bisa orang normal. ”B termasuk orang normal. Bukan psikopat. Oleh karena itu, dia terjerat hukum,” ucap Meliala. Menurut dia, B bukan psikopat karena masih mampu membangun relasi sosial dan fokus memilih korbannya.

Erlangga sependapat. ”Karena B mampu memilih, maka dia sadar melakukan pembunuhan. Psikopat atau orang gila lainnya tidak mampu melakukan pilihan sadar. Oleh karena itu, tak bisa dijerat hukum,” tuturnya.

Selain itu, lanjutnya, hubungan antara pelaku dan korban adalah hubungan paksa. ”Tidak seperti saat pasangan homoseksual melakukan hubungan intim yang didasari rasa suka saling suka,” ucap Erlangga.

Meski demikian, kata Lia, polisi tetap harus memeriksa kondisi kejiwaan tersangka untuk memastikan hal itu.

Menurut Erlangga, B nyaris tak lagi memiliki nilai kemanusiaan karena terganggunya sistem nilai dari masa lalunya yang kelam. Gangguan sistem nilai ini berkembang secara bertahap.

Saat B masih anak-anak, dia menjadi korban yang merasa terancam dan kesakitan. Saat berangkat dewasa, B lalu berhalusinasi tentang pelaku yang pernah menyodominya dan mencapai puncak kenikmatan. B lalu menjadi pelaku dan mencapai kenikmatan. ”Lama-lama dia merasakan, kian kejam tindakan terhadap korban, kian besar kenikmatan seksual yang dirasakan sampai akhirnya berhubungan seksual dengan mayat,” ucap Erlangga.

Lia berpendapat, perubahan dari korban menjadi pelaku, seperti dialami B, sebenarnya didasari balas dendam masa lalu atau membayar utang masa lalu. ”Ada perasaan, harga diri tersangka semakin pulih setiap mengulangi perbuatan yang sama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com