Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mutilasi, Baekuni Lebih Keji, Ryan Henyansah Lebih Rumit

Kompas.com - 17/01/2010, 07:26 WIB

KOMPAS.com — Jakarta gempar saat mayat terpotong tujuh ditemukan di dua lokasi di Jalan Kebagusan Raya, Sabtu (12/7/2008). Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Fadhil Imran—yang kala itu masih menjadi Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan Polda Metro—dibuat sibuk.

Setelah mendapatkan identitas bahwa potongan mayat itu adalah Hery Santoso (40), Fadhil dan timnya kemudian menemukan pembunuhnya, Very Idham Henyansyah (31).

Ryan, pria kelahiran Jombang 1 Februari 1978, ternyata bukan hanya membunuh Hery, tetapi juga 10 orang lainnya. Seluruh korban dia bunuh dan kubur di belakang rumah orangtuanya di Jatiwates, Tembelang, Jombang, Jawa Timur.

Ke-10 korban adalah Ariel Somba Sitanggang (34), Vincent, Guntur, Grendy, Agustinus Setiawan (28), Guruh Setyo Pramono (27), Muhammad Aksoni (29), Zainal Abidin (21), serta Nanik Hidayati (31) dan putrinya, Sylvia Ramadani Putri (3).

Di lingkungan kawan dan gurunya di SD-SMP-SMA, di samping dikenal lebih dekat dan lebih banyak berkawan dengan perempuan, Ryan juga dikenal cerdas, cekatan, dan pandai bergaul.

”Sejak SD dia lebih dekat dan disayang kawan-kawan perempuannya karena sikapnya yang periang, berbudi halus, dan cerdas. Guru-guru senang kepadanya. Di sekolah, performanya di atas rata-rata. Ya, dia suka bulu tangkis dan voli,” kenang Umi Habibah (40), guru Ryan di SD Negeri Dua, Jatiwates.

Baekuni

Dua tahun kemudian, Jumat (8/1/2010) pagi, terungkap peristiwa serupa setelah ditemukan potongan mayat di dekat jembatan Banjir Kanal Timur di Jalan Raya Bekasi, Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur.

Mayat terpotong lima tanpa kepala itu kemudian teridentifikasi sebagai Ardiansyah (9), pengamen jalanan. Tersangka pelakunya, Baekuni (48) alias Babeh. Ia dibekuk Sabtu (9/1) pukul 03.00 di rumah kontrakannya di Gang H Dalim RT 6 RW 2, Pulogadung, Jakarta Timur.

Selanjutnya, ketua tim penyidik yang juga Kasat Jatanras Polda Metro Ajun Komisaris Besar Nico Afinta mengungkapkan, Baekuni telah membunuh tujuh anak berusia 9-12 tahun. Empat orang di antaranya dimutilasi, yaitu Adi, Rio, Arif, dan Ardiansyah, sedangkan Aris, Riki, dan Yusuf tidak.

Baekuni kecil bukan Ryan kecil yang dielu-elu kawan-kawannya karena ”gaul” dan cerdas. Hidup Baekuni kecil dikepung cercaan sebagai ”si bodoh” karena sering tidak naik kelas. Tak tahan lagi menanggung hinaan itu, anak petani miskin di Magelang, Jawa Tengah, itu meninggalkan bangku kelas III SD-nya dan kabur ke Jakarta.

Baekuni hidup menggelandang di Lapangan Banteng sampai suatu hari ia disodomi paksa oleh seorang preman. Kenangan pahit tersebut membuat pria homoseksual ini mengidap paedofilia di samping sebagai pengidap nekrofilia situasional.

Keji dan rumit

Apa bedanya Ryan dan Baekuni? Kriminolog UI Prof Adrianus Meliala dan Ajun Komisaris Danang, penyidik kasus Ryan dan Baekuni, sama-sama menjawab, ”keji dan rumit”.

Ryan adalah pribadi yang rumit, sementara Baekuni adalah orang yang keji. ”Ryan berstandar ganda karena dipicu orientasi materi yang tinggi akibat konsumtifisme,” ucap Meliala. ”Baekuni lebih keji dari Ryan sebab sasaran korbannya anak-anak,” kata Danang.

Baik Meliala maupun Danang percaya bahwa tindakan Baekuni kepada anak-anak seperti hendak menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekuasaan absolut terhadap orang lain.

Ryan menjadi pembunuh karena terseret gaya hidup jetset nan mahal yang sebenarnya tak terjangkau. Lama-lama, penghargaan Ryan kepada orang lain kian surut dibandingkan penghargaannya pada materi.

Baekuni menjadi pembunuh lebih karena ingin membalas dendam ”kekalahan” masa kecilnya, seperti disampaikan psikolog merangkap dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Lia Sutisna Latif, sebelumnya.

Dibandingkan Ryan, lanjut Danang, Baekuni tampak lebih menikmati saat membunuh korbannya. ”Itu akibat semangat balas dendam Baekuni lebih keras dibanding semangat materialisme Ryan,” tambah Meliala. Baekuni menjadi lebih tekun belajar membunuh dan lebih rapi. Kedua kasus ini menunjukkan, ketamakan pada materi dan semangat membayar kekalahan dengan impian meraih kekuasaan absolut bisa membuat orang menjadi keji dan rumit. (WINDORO ADI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com