Sekali lagi patut ditekankan, defisit Indonesia dalam perdagangan dengan China adalah bagian dari mukjizat perniagaan China yang berskala global daripada regional seperti ACFTA. Mukjizat itulah yang sering disebut sebagai peristiwa terpenting pada ujung abad ke-20 dan awal abad ke-21. Dua tahun sejak pengumuman ”Empat Modernisasi RRC” 1978 pangsa China dalam ekspor dunia hanya 0,89 persen, sementara Indonesia 1,1 persen.
Sejak itu pangsa Indonesia turun terus menjadi 0,86 persen pada 2008 meskipun membaik jadi 0,97 persen dalam sembilan bulan pertama 2009, sementara pangsa China naik terus jadi 8,9 persen dan 9,2 persen. Pertanyaan besar yang harus dijawab Indonesia adalah replikasi mukjizat perniagaan China. Kebijakan perdagangan yang bertolak dari pembatasan impor seperti tersirat dalam kritik terhadap ACFTA cepat atau lambat akan bermuara dalam implosi.
Memenangi hati konsumen China sudah menjadi ramuan wajib bagi terpeliharanya kemakmuran banyak bangsa. Dengan pangsa dalam impor dunia yang naik dari 0,89 persen pada 1980 menjadi 6,9 persen pada 2008 dan 7,5 persen dalam sembilan bulan pertama 2009, China adalah pasar yang lukratif dan tidak tergantikan, terutama bagi negara yang berikhtiar melomba seperti Indonesia.
Dalam sejarah perdagangan purba dan modern negara pelaku utama datang dan pergi silih berganti. Keunggulan China yang
Mukjizat perniagaan China mengandung banyak pelajaran berharga yang menyangkut visi negara perniagaan, pengurutan (sekuensi) kebijakan perdagangan dan investasi, perencanaan ruang (spatial), pemupukan pengetahuan dan keahlian berfaedah komersial dengan mengirim warga hingga ke ujung bumi, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi dan pragmatisme, semuanya tertenun membentuk ”Model China 21” sebagai desain dominan dalam keragaman ekonomi dunia milenium sekarang menyusul Model Jepang, Model Amerika, dan Eropa.