Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Buruh Kembali Ditanyakan

Kompas.com - 03/05/2010, 03:19 WIB

Kendati sudah 12 tahun buruh menikmati kebebasan dalam berserikat, berbagai kasus pemasungan terhadap serikat buruh dan pengurusnya oleh pengusaha maupun pemihakan pemerintah terhadap kepentingan pengusaha dalam kasus-kasus buruh masih sering terjadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan pula apabila responden yang menilai pemerintah masih belum memadai dalam menjamin hak dan berorganisasi bagi buruh masih dominan (55,2 persen).

Di sisi lain, kungkungan permasalahan hubungan industrial yang umumnya dinilai merugikan buruh juga masih bermunculan. Pemberlakuan sistem kerja kontrak atau outsourcing, misalnya, yang dilegalkan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kini semakin umum berlangsung. Sistem demikian di satu sisi menguntungkan pengusaha karena perusahaan menjadi lebih efisien, dapat mengurangi biaya produksi dengan tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya karyawan.

Namun, di sisi lain, buruh dirugikan dengan tidak adanya jaminan status kerja. Hal ini seperti yang dikatakan Karl Marx bahwa dalam kapitalisme segi pembagian hasil produksi industri, upah ada di satu pihak dan laba di lain pihak. Obyek-obyek materiil yang diproduksi disejajarkan dengan si buruh itu sendiri. Buruh teralienasi dari hasil kerjanya sendiri (Giddens, 1985).

Kegamangan identitas

Apabila di sisi eksternal buruh dinilai kurang mendapat dukungan, kecenderungan yang sama juga tampak di sisi internal buruh sendiri. Saat ini, salah satu persoalan yang menghambat perkembangan gerakan buruh di Indonesia adalah masih rendahnya kesadaran dan solidaritas dari para pekerja sendiri.

Kondisi semacam ini terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas. Dari semua responden, yang bekerja hampir 70 persennya, menyatakan bahwa di tempatnya bekerja saat ini tidak terdapat serikat pekerja atau organisasi pekerja. Yang menyatakan telah menjadi anggota serikat pekerja atau organisasi pekerja lain sekitar 23 persen dari seluruh responden pekerja. Ironisnya, ketika ditanya perlu atau tidaknya ada organisasi pekerja di lingkungan kerja mereka, sebagian besar (56,9 persen) responden pekerja menjawab perlu. Alasannya, menurut mereka, organisasi pekerja itu bermanfaat bagi pekerja.

Kondisi ini memang paradoks, di satu sisi pekerja menganggap perlu adanya organisasi pekerja, tetapi di sisi lain justru sebagian besar dari mereka terlihat enggan terlibat menjadi anggota atau pengurus apalagi membentuk serikat pekerja di lingkungan kerjanya. Padahal, dengan adanya UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, pekerja bebas untuk membentuk serikat pekerja walau hanya dengan 10 pekerja.

Gugatan terhadap kesadaran pekerja ini bisa jadi terlihat pula dari masih gamangnya para responden yang bekerja dalam mendefinisikan status mereka. Hasil jajak pendapat ini mengungkapkan sebagian besar (45,2 persen) responden yang bekerja lebih suka mengidentikkan dirinya sebagai karyawan ketimbang sebagai buruh atau pekerja.

(Anung Wendyartaka/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com