Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obama dan Logika Israel

Kompas.com - 03/06/2010, 08:43 WIB

Kita berharap positif meski banyak yang meragukan. Obama boleh saja mengatakan "enough is enough", tetapi menghentikan bantuan keuangan dan militer bagi Israel? Rasanya tak mungkin karena solidaritas dengan Israel adalah sebuah keniscayaan bagi AS, raison d'etre.

Sangat mungkin, selain kegeraman, yang tersisa bagi Obama hanya membangun dan memperkuat tekanan internasional terhadap Israel untuk terlibat dalam perundingan dengan Palestina. Terkadang, saat-saat terakhir, Israel mengalah. Itulah yang terjadi pada masa Bill Clinton dan George Bush Sr dalam perundingan damai Oslo dan Taba.

Logika militer

Psikolog terkenal Israel, Dan Bar-On, menulis, ”Warga Israel merasa dirinya sebagai korban. Puluhan tahun lalu, di Eropa, bangsa Yahudi menjadi korban Nazi-Hitler dan negara-negara lain. Eksodus ke Israel untuk meninggalkan peran sebagai korban. Namun, di Timteng mereka juga diserang negara-negara Arab. Merasa jadi korban dan sebagai bagian dari kebaikan memunculkan pandangan dunia yang sederhana dan percaya harus melakukan pembalasan dengan moto siapa yang mencoba membunuhmu, bunuhlah dia sebelum itu terjadi."

Bagi Bar-On, sebuah otokritik akan membuka saluran perdamaian yang tersumbat. Israel harus belajar mengatasi perannya sebagai korban. Hanya dengan demikian, pengintegrasian negara Israel dalam lingkungan Arab bisa sepenuhnya terjadi. Apa yang bisa dilakukan Israel agar tidak jadi bagian asing di kawasan ini?

Bagi Bar-On, warga Israel harus secepatnya memulai sepenuhnya hidup di Timteng. Hingga kini, kebanyakan mereka masih saja percaya berumah di Eropa dan AS. "Hidup di Timteng", lanjutnya, "seharusnya berarti belajar bahasa Arab agar bisa lebih mengerti apa yang terjadi di negara-negara tetangga. Perlu ditemukan cara untuk hidup dan bekerja bersama dan tidak hanya membunuh mereka."

Hidup dalam situasi perang berkepanjangan lambat laun akan sulit dipahami mayoritas warga dunia. Meningkatnya protes akibat melejitnya jumlah korban sipil dalam setiap agresi Israel, hancurnya infrastruktur dasar, serta pemusnahan kreasi peradaban akan menggusur kemampuan dan kesediaan memahami logika militer. Kompleksitas sebuah konflik direduksi dalam formula siapa lebih kuat atau siapa lebih menderita. Emosi menggantikan obyektivitas. Tiba-tiba, yang tadinya (merasa sebagai) korban, jadi agresor.

Pada nurani terdalam siapa pun, termasuk publik Israel, pasti menginginkan hidup damai. Namun, mereka diberondong opini politisi dan militer tentang tiadanya alternatif selain perang. Kalkulasinya ketika melakukan agresi di Gaza, setelah kehancuran total, setelah bantuan kemanusiaan pun dilarang masuk dan dihancurkan, rakyat Palestina akan jenuh dan berhenti melawan. Logika militer yang patut diragukan. Yang lebih mungkin, mayoritas rakyat Palestina dan siapa pun di muka bumi ini akan membenci dan sangat marah kepada agresor.

*IVAN A HADAR, Direktur Eksekutif Institut Pendidikan Demokrasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com