Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Pahlawan di Negeri Bencana

Kompas.com - 10/11/2010, 05:05 WIB

Lagu ”Gugur Bunga” yang dinyanyikan dengan penghayatan oleh tujuh bocah menyentuh hati, mengingatkan akan jasa para pejuang kemerdekaan di negeri ini. Kini tidak mudah menggambarkan sosok seperti apa pahlawan, khususnya bagi anak-anak. Momentum Hari Pahlawan menjadi saat yang tepat untuk merenungkan kembali soal kepahlawanan.

Pesan itulah yang hendak disampaikan anak-anak SD Muhammadiyah 2 Gresik mengenai pahlawan, terutama pahlawan di negeri yang sedang dilanda bencana secara beruntun ini.

Ratusan siswa berkumpul bersama di halaman sekolah. Mereka menggelar perenungan, deklamasi, dan drama pendek soal kepahlawanan. Prosesi diawali dengan mengheningkan cipta diiringi alunan musik angklung dan tiupan seruling. Selanjutnya tujuh bocah melantunkan lagu ”Gugur Bunga” diiringi gitar dan perkusi.

”Kek, lihatlah bendera negeriku. Merahnya sudah luntur, putihnya sudah kabur. Belikan aku kesumba untuk mencelupnya. Belikan aku pemutih untuk merendamnya.” Kalimat puitis itu terlontar dari mulut Qonita Nabiha saat mendeklamasikan Balada Sang Merah Putih karya Ras Navastara.

Suaranya yang melengking tinggi dengan aksen dan intonasi yang pas menggetarkan hati. ”Kek lihatlah bendera yang tegak, merahnya bergincu putihnya berbedak,” sambung Nanda Dwi Safitri.

Pemeran kakek, Wildan, pun menjawab, ”Cucuku dengarlah. Itu merah bukan kesumba, tapi merahnya darah para pahlawan. Itu putih bukan pemutih, tapi putihnya hati para pejuang. Tak pula bergincu yang ditumbuhi kepalsuan, tak pula berbedak yang disapuh kemunafikan”.

Qonita dan Nanda dengan lantang mengatakan, ”Kakek, aku ingin melihat bendera negeriku semerah darah dan seputih melati. Bersulam benang-benang keikhlasan, bersucikan air mata kesabaran.” Keduanya bersama Wildan secara bersamaan melontarkan kata, ”Wahai bendera negeriku! Teruslah berkibar menjilat matahari. Sejarah adalah saksi abadi.”

Selanjutnya seorang guru, Sya'roni, dengan berpakaian pejuang membawa bambu runcing memekikkan teriakan ”Merdeka atau Mati !” ”Merdeka!” sahut anak-anak.

”Ya, anak-anak, pagi ini kita mengenang jasa para pejuang. Mereka yang bersenjatakan bambu runcing dengan gagah berani melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia,” tuturnya.

Dia mengingatkan, saat ini tidak ada lagi perang. Sekarang adalah perang melawan kebodohan, perang melawan kemiskinan. ”Kalau anak-anak ingin jadi pahlawan, kini tidak perlu perang. Cukup jadi anak yang baik, rajin belajar agar pintar dan tercapai cita-citamu,” ucap Sya'roni dilanjutkan ikrar siswa.

Setelah itu bunyi sirine meraung-meraung. Kepanikan terjadi, orang-orang sibuk menyelamatkan diri. Anak-anak ada yang bertabur bedak dan abu di wajahnya menggambarkan korban letusan Gunung Merapi. Ada wanita hamil, ada warga dipapah warga, mereka berlari-lari melukiskan ketakutan warga terhadap gempa, tsunami, dan banjir.

Mereka yang berpakaian polisi, tentara, sukarelawan, dan petugas medis menolong warga yang tertimpa musibah itu. Anak-anak menangis, betapa menderitanya menjadi korban bencana. Tembang dari D'masive, ”Jangan Menyerah”, menambah keharuan suasana. ”Bencana itu menyisakan nyanyian yang terluka. Jangan sampai melenakan kita karena esok masih ada cerita yang perlu kita ikuti bersama.”

(ADI SUCIPTO KISSWARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com