Jambi, Kompas -
Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf mengatakan, 50 persen orang rimba telah keluar dari kawasan hidup mereka di Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kini tinggal di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera di Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Bungo.
Kehidupan ekonomi mereka relatif sulit. Mereka, antara lain, menjadi penjual obat tradisional, buruh kebun sawit dan karet, atau dimobilisasi pemilik modal untuk berburu satwa liar. Selain itu, mereka juga menjadi pengemis. Mereka menempati pondok darurat dari terpal plastik beralas bambu di pinggir perkebunan.
Rudi mencatat, terjadi alih fungsi 633.809 hektar hutan alam di Jambi menjadi hutan tanaman industri yang dikelola 18 perusahaan. Sebagian merupakan kawasan hunian dan sumber mata pencarian orang rimba.
Hutan di Jambi juga beralih fungsi menjadi areal transmigrasi. Penyelenggaraan transmigrasi oleh pemerintah sejak tahun 1968 telah menempatkan 1.600 orang rimba hidup menetap bersama sekitar 600.000 pendatang, yang sebagian besar datang dari wilayah Jawa.
Kebijakan tersebut menimbulkan gegar budaya di kalangan orang rimba. Mereka yang semula terbiasa hidup secara tradisional dalam hutan dipaksa menjalani kehidupan modern. Ini secara tidak langsung menghancurkan akar budaya orang rimba. ”Jika dibiarkan, 5-8 tahun ke depan budaya orang rimba akan habis,” ujar Rudi.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Nurkholis mengatakan, ada indikasi terjadi pemaksaan kebijakan oleh pemerintah terhadap orang rimba untuk hidup berhadapan dengan dunia luar melalui program transmigrasi. Pemerintah perlu memperbaiki kebijakan agar etnosida tidak sampai terjadi.