Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguatkan Degup Jantung Ekonomi

Kompas.com - 04/03/2011, 02:49 WIB

Bila pada tahun 1950-an industri mengandalkan sistem produksi massal untuk bersaing, inovasi kemudian menggeser persaingan pada menghasilkan produk baru, biaya lebih murah, layanan berkualitas, dan pada tahun 1990-an mengandalkan kecepatan dan menjaga hubungan dengan pelanggan. Pada tahun 2000-an, globalisasi menyebabkan persaingan bergeser ke sistem manajemen rantai pasok, di mana logistik menjadi bagian.

Dalam sistem tata kelola rantai pasok, barang bergerak dari produsen hingga ke konsumen akhir dalam aliran terencana detail serta tepat jumlah dan waktu. Targetnya, harga akhir produk menjadi murah karena logistik efisien dan efektif.

”Misalnya dalam produksi komputer. Karena pembeli menetapkan waktu produk sampai di toko, jasa logistik harus memastikan bagian-bagian barang tiba pada waktu yang ditentukan untuk perakitan, lalu dikirim. Jadi, gudang tak perlu besar, tenaga kerja lebih sedikit,” kata anggota Komite Ekonomi Nasional Chris Kanter.

Di dalam sistem logistik itu terintegrasi jaringan transportasi dan infrastrukturnya, layanan dokumen kepabeanan untuk barang impor dan ekspor, layanan pelabuhan dan bandara, pergudangan, teknologi informasi, sistem pembayaran antarnegara yang tak konvensional, hingga payung hukum untuk melayani kecepatan dan dinamika pergerakan barang.

Dewan nasional

Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sistem logistik nasional menjadi sangat penting untuk memastikan tiap wilayah bergerak maju secara sinkron sehingga menghilangkan ketimpangan pembangunan. Dari sisi sistem pasok global, Indonesia juga berpotensi sebagai pemasok hasil sumber daya alam dan industri olahannya ke pasar internasional sekaligus sebagai pasar.

Namun, kemampuan logistik Indonesia jauh dari memuaskan. Berdasar Indeks Kinerja Logistik (LPI) yang dikeluarkan Bank Dunia, bila tahun 2007 posisi Indonesia adalah 43 dari 150 negara yang disurvei, pada 2010 merosot ke peringkat ke-75 dari 155 negara. Posisi tersebut di bawah Vietnam Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Padahal, tantangannya jelas, tahun 2013 adalah target integrasi logistik ASEAN, tahun 2015 integrasi pasar tunggal ASEAN, dan 2020 integrasi pasar bebas global.

”Survei kecil kami memperlihatkan biaya logistik Indonesia 25-30 persen dari produk domestik bruto, sementara di Thailand 18 persen dan Amerika Serikat 10 persen. Pemerintah targetnya 7 persen,” kata Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah harus bekerja keras karena di tiap titik terjadi sumbatan. ”Jalan pantura Jawa masih bayak yang rusak. Proses pemeriksaan di pelabuhan lebih lama 10 menit saja, semua langsung kacau,” tambah Zaldy.

Baik Senator, Chris Kanter, maupun Zaldy menginginkan segera ada Dewan Logistik Nasional langsung di bawah presiden untuk kerja mengoordinasikan semua instansi yang terlibat.

Hingga setahun berlalu sejak lahir Cetak Biru Sislognas, tak terasa ada perubahan berarti. Pelabuhan Merak tetap tak andal, harga pangan terutama beras tetap bergejolak, perbedaan harga barang strategis antara Jawa dan luar Jawa tetap tinggi. Jelas Indonesia butuh pemimpin yang sigap bergegas membangun sislognas atau tertinggal di landasan. (Ninuk Mardiana Pambudy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com