BATANG, KOMPAS
”Sudah berdiri berjam-jam memetik teh hanya mendapat Rp 10.000 sehari. Itu sangat tidak manusiawi. Bagaimana caranya harus diupayakan agar penghasilan buruh petik bisa meningkat,” kata Bibit saat mengunjungi Koperasi Serba Usaha (KSU) Mekar Jaya di Desa Mojo Tengah, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (31/3). Pada hari itu pula KSU Sejahtera mendapat sertifikat Teh Lestari, dan diadakan peluncuran Teh Rakyat Kepodang.
Rendahnya harga teh rakyat terungkap ketika Bibit mengajak bicara seorang pemetik teh yang setiap harinya mendapat rata-rata Rp 10.000. Uang sebesar itu diperoleh setelah memetik daun teh selama enam jam dengan hasil 30 kg pucuk daun teh.
Ruminah (45), buruh pemetik teh, mengaku hanya membawa pulang uang Rp 10.000-Rp 15.000 per hari. ”Kalau sehari paling banyak, ya 30 kg,” ujarnya.
Kepala Desa Mojo Tengah Septi Arintawati menjelaskan, rendahnya upah buruh dipicu harga pucuk teh yang juga rendah. Pucuk teh kering dari petani dihargai Rp 1.250-Rp 1.300 per kg. Dari jumlah itu, Rp 50 disisihkan untuk iuran koperasi, Rp 350 jadi upah buruh, dan sisanya untuk petani pemilik lahan.
”Selama harga teh masih rendah, upah buruh juga akan terus rendah. Kami sedang mengupayakan cara bagaimana agar pucuk teh yang dijual ke pabrik berkualitas baik,” kata Septi. Ada 705 petani dan buruh petik di desa itu. Seluruh hasil petikan dibeli PT Pagilaran, perusahaan teh milik Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada yang bermitra dengan KSU Mekar Jaya.
Direktur Utama PT Pagilaran Rachmad Gunadi menjelaskan, harga teh rakyat tidak bisa tinggi karena kualitas pucuknya hanya 19-20 persen. Padahal, kualitas pucuk yang ideal adalah 60 persen. ”Jika bisa mencapai 60 persen, harga pucuk teh bisa mencapai Rp 1.700 per kg,” ujarnya.
Ketua KSU Mekar Jaya, Suratno, mengatakan, idealnya harga pucuk teh mencapai Rp 2.000 per kg. Dengan demikian, petani dapat memberikan upah kepada para pemetik berkisar Rp 500-Rp 600 per kg.