Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jerat Kemiskinan di Jaring Kami...

Kompas.com - 04/05/2011, 16:53 WIB

Beban hidup nelayan di hilir Citarum kian mencekik manakala abrasi menerjang perkampungan mereka. Jalan kampung sejauh 7 km di Muarajaya rusak parah akibat abrasi. Jalan beton pecah dan mengelupas, sehingga tidak bisa dilewati kendaraan bermotor. Rumah nelayan yang berhadapan dengan mulut muara Citarum pun hancur.

Abrasi di pesisir Muarajaya memang dashyat. Sekitar 10 tahun lalu, menurut Ali, jarak laut lepas dengan rumahnya masih mencapai 100 meter. Namun kini tinggal lima meter. Saat memasuki rumah Ali, lantainya gelap dan kotor karena endapan lumpur. Tak ada perkakas berharga selain TV 14 inchi. Selain rumah Ali, tiga rumah lainnya juga roboh.

Ancaman abrasi juga membuat keluarga Sukandi was-was. Saat malam hari, desir angin kencang membuat seisi rumah tak bisa tidur. Mereka khawatir rumah semipermanen berlantai tanah yang mereka tinggali itu roboh diterjang rob. “Suara kayu yang berderit sangat menakutkan. Saat angin kencang kami keluar rumah, berjaga-jaga sampai pagi,” tutur Inah yang asli Indramayu itu.

Kerusakan infrastruktur akibat abrasi lambat ditangani pemerintah. Selama empat bulan, jalan kampung yang rusak berat itu tidak diperbaiki. Sebelum abrasi, jalan kampung itu pun sudah tidak layak dilewati. “Anak saya sulit sekolah karena jalan rusak. Tidak ada ojek mau masuk kampung, sehingga ia harus berjalan kaki ke luar kampung sejauh 7 km,” ungkap Sukandi.

SMP terdekat dengan Muarajaya berjarak sekitar 15 km, sedangkan SD terdekat jaraknya 6 km. Puskesmas jaraknya sekitar 5 km. Ketiadaan jalan darat yang baik membuat warga kesulitan bersekolah dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain jalan kaki, moda transportasi yang mungkin dipakai ialah perahu. Namun, perahu angkutan tidak selalu ada sebab jumlahnya terbatas.

Tergiur Bekerja

Pendidikan warga di hilir Citarum pun umumnya masih rendah. Dari tujuh anak Sukandi, misalnya, tak satupun yang lulus SD. Selain karena buruknya infrastruktur, anak-anak nelayan itu tergiur bekerja untuk membantu orangtua.

Parja (72), warga Kampung Muara Bendera, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, mencontohkan anak kelimanya, Rokhman (20), yang berhenti sekolah menjelang ujian akhir kelas VI. Rokhman kini menjadi pengemudi perahu antar jemput siswa dengan upah Rp 20.000-Rp 30.000 per hari.

Anak-anak usia belasan tahun lainnya ikut mencari ikan ke tengah laut bersama orang tua atau saudaranya yang nelayan.

Sementara sebagian remaja putri merantau ke luar kota atau ke luar negeri. Mereka umumnya bekerja di sektor informal, seperti Mariah (28) dan Karmi (26), putra ketiga dan keempat Parja, yang menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com