Hari masih gelap. Hartini (70) yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung barang bekas sudah bergegas membeli kue untuk mempersiapkan sahur bagi cucu-cunya.
Saat pulang, sekitar pukul 03.15, dia terkejut karena langit di sekitar rumahnya di Pasar Lokomotif, RT 13 RW 01, Kelurahan Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, memerah.
”Api itu dari belakang rumah dan saya langsung lari untuk selamatkan cucu,” kata Hartini
Gubuk Hartini, tempat tiga cucu dan seorang anaknya berteduh, termasuk puluhan rumah dan kios pedagang unggas ludes dilalap api. Ratusan ayam, bebek, dan burung pun ikut tewas terbakar.
Ia mengaku sudah tinggal di rumahnya sejak tahun 1960. Penghasilannya sehari sekarang, Rp 20.000-Rp 40.000.
Di tempat lain, Choril Fikri (8,5) mengeluh, karena peristiwa ini, ia tak bisa ke sekolah. ”Yang bisa saya selamatkan cuma empat mainan robot. Keperluan sekolah saya hangus,” kata anak piatu yang jadi langganan juara kelas itu.
Yuliana (24), saudara kembar almarhum ibunya, mengatakan, sejak usia 5 tahun, Fikri tak pernah putus puasa setiap Ramadhan tiba. Setiap sahur, Fikri dibangunkan oleh neneknya.
”Waktu dibangunkan nenek subuh tadi, saya heran. Kok, nenek mengajak saya lari dan menyeberang jalan. Aduuuh, suaranya gaduh sekali. Saya mendengar berkali-kali suara ledakan dari tabung gas dan sepeda motor yang meledak,”
Siswa SD Negeri Petang 3 ini berharap, Senin (8/8), ia tetap bisa masuk sekolah meski cuma memakai sandal dan pakaian seadanya. Ia bertekad sekurangnya tetap bisa menjadi juara dua di sekolahnya. ”Kalau saya besok enggak masuk, saya bakal ketinggalan pelajaran,” tuturnya. Ia tidak khawatir hendak tidur di mana atau makan apa setelah peristiwa itu. Yang ia pikir cuma, ”Saya harus tetap bisa sekolah dan membalas budi nenek,”