Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Berliku dalam Pilkada Banten

Kompas.com - 06/09/2011, 03:12 WIB

C Anto Saptowalyono, Nina Susilo, dan Pingkan Elita Dundu

Paket bahan pokok berupa 2 kilogram beras, 1 liter minyak goreng, dan lima bungkus mi instan menjadi penentu pilihan Aisah pada Pilkada Provinsi Banten tahun 2006. Namun, untuk pilkada tahun 2011, perempuan setengah baya penjaja ketan bintul setiap Ramadhan itu belum menentukan pilihan.

Pragmatisme itu ibarat gayung bersambut dengan keinginan elite politik dalam mendapatkan jabatan secara instan. Padahal, pemilihan umum kepala daerah langsung sejatinya adalah proses demokratisasi, momentum ketika rakyat sungguh-sungguh berdaulat dan memiliki hak menentukan pemimpinnya selama lima tahun ke depan. Namun, Pilkada Banten 2011 malah kembali menampakkan celah-celah kecurangan.

Bentuk paling sederhana adalah mencuri start kampanye dengan memasang beragam perangkat iklan di pelosok Banten. Praktik itu dengan intensitas berbeda dilakukan kubu semua calon. Tak ayal, wajah pasangan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno, Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki, dan Wahidin Halim-Irna Narulita pun nyaris muncul di setiap jalan dan persimpangan.

Perang baliho tersebut sempat ditertibkan, tetapi tidak mudah. Pasalnya, para bakal calon yang menduduki jabatan publik, seperti petahana Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim, cukup kuat menorehkan jabatan politiknya. Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pun tidak berani mengutak-atik.

Ketua Panwas Pilkada Banten Surya Bagja mengakui, Panwas tidak kuasa menangani pelanggaran itu karena para bakal calon memasang baliho jauh sebelum ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur oleh KPU Banten.

Pengajar ilmu administrasi publik FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Gandung Ismanto, dalam bukunya, Habis Gelap, Terbitkah Terang?, menyebutkan curi start sebagai modus kecurangan dalam Pilkada 2006 selain politik uang dan tidak netralnya birokrasi.

Secara de jure, tulisnya, curi start tidak bisa dihukum. Namun, hukum tidak dapat dilihat sekadar sebagai aturan (rule) dalam pengertian formil sehingga ketaatan hukum harus dimaknai sebagai ketaatan terhadap keseluruhan norma etis dan aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Salah satu kandidat, Jazuli Juwaini, mengatakan, kecurangan kerap dialaminya. Dalam dua jam, misalnya, balihonya di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan lenyap dicopot. Beberapa lurah, RW, atau RT juga tiba-tiba membatalkan acara sosialisasinya dengan masyarakat. Namun, kata Jazuli, tekanan seperti itu tetap bisa diatasi. Kalaupun jajaran birokrat tidak netral, dia berharap Panwas Pilkada bersikap sama dalam memproses semua pelanggaran.

Kooptasi birokrasi

Netralitas birokrasi memang selalu dikhawatirkan tergadai dalam pilkada. Kenyataannya, Panwas Pilkada Banten menerima laporan terkait ketidaknetralan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Mahasiswa peserta Kuliah Kerja Mahasiswa Untirta melaporkan pembagian sajadah, stiker, dan kalender bergambar Ratu Atut Chosiyah serta uang pada sosialisasi pembentukan Desa Siaga Bencana di Patra Anyer, akhir Juli lalu. Namun, kata Surya, laporan pelanggaran itu melampaui batas waktu tujuh hari sehingga kedaluwarsa.

Di Kota Tangerang, Gerakan Madani Masyarakat Tangerang (Gemma) juga menemukan dugaan kampanye terselubung yang dilakukan birokrat. Dalam tarawih keliling di Masjid At-Taubah, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, pada 15 Agustus lalu, menurut Ketua Gemma Drajat Sumarsono, Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Thabrani berceramah, menyampaikan keberhasilan dan mendoakan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim yang mencalonkan diri dalam Pilkada Banten. Tarawih keliling yang dihadiri pula Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) Syaeful Rahman, Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Sayuti, dan Kepala Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang Rudi Supardi itu diakhiri dengan pemberian sumbangan Rp 10 juta kepada DKM Masjid At-Taubah.

Dugaan kecurangan dilaporkan Gemma kepada Panwas Pilkada Kota Tangerang pada 26 Agustus lalu. Namun, saat memasukkan laporan ke Panwas Kota Tangerang, petugas penerima laporan sempat menyuruh Drajat dan dua saksi menyelesaikan persoalan baik-baik dengan terduga pelaku.

Mobilisasi pengurus RT/RW di sejumlah kelurahan di Kota Tangerang juga terjadi. Seorang warga Karang Tengah dan seorang warga Kelurahan Peninggilan Utara mengatakan, pengurus RT mendatangi setiap rumah untuk membagikan stiker pelunasan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) bersama stiker berwarna biru bergambar Wali Kota Wahidin Halim. Stiker kemudian diminta ditempelkan di pintu atau jendela depan rumah.

Ketika cara itu dinilai tidak sejalan, ketua RT malah dinonaktifkan. Kendati dipilih warga, Drajat mencontohkan, Ketua RT 001/001, Kelurahan Larangan Utara, Irwan, dinonaktifkan Lurah Larangan Utara, Manshur Maulana, pada 23 Agustus lalu. Dalam surat penonaktifan Nomor 148/09-Lar-Ut/VIII/2011 itu, penonaktifan karena ketua RT dinilai tidak sejalan dengan ketentuan dan peraturan Pemerintah Kota Tangerang.

Kepala Bagian Humas Pemkot Tangerang Maryoris Namaga membantah adanya mobilisasi pengurus RT/RW dan lurah untuk mengampanyekan pencalonan Wahidin Halim sebagai calon Gubernur Banten.

Dikonfirmasi soal rumor pemecatan RT/RW di Tangerang yang diketahui mendukung Atut, Wahidin menampik tudingan itu. ”Itu mah yang dimuat di koran. Di balik-balik beritanya. Enggak ada itu di sana (Tangerang),” kata Wahidin ditemui seusai pengundian nomor urut pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten beberapa waktu lalu.

Media Warman, Sekretaris Tim Pemenangan Wahidin-Irna, menyatakan, tim Wahidin-Irna akan berkampanye secara bersih dan tidak menggunakan perangkat birokrasi. Spanduk dan baliho yang tetap dipasang sebelum penetapan calon, kata Media, menampilkan Wahidin sebagai Wali Kota Tangerang.

Iman Ariyadi, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Banten, juga membantah bila tim Atut-Rano melibatkan politikus birokrasi atau membagikan uang. ”Kalau memiliki bukti kuat, silakan dilaporkan,” katanya.

Kendati demikian, beberapa laporan politik uang juga diterima Panwas Pilkada Banten, baik yang dilakukan kubu Atut maupun Wahidin. Namun, kata Surya, kembali Panwas tidak bisa memproses karena pelanggaran dilakukan sebelum pelaku ditetapkan sebagai calon gubernur.

Fasilitas anggaran

Modus lainnya adalah memanfaatkan APBD untuk kepentingan pemenangan pilkada. Pembajakan APBD itu tercium kuat ketika anggaran hibah Banten melonjak gila-gilaan mulai 2010. Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir, alokasi dana hibah Banten pada 2009 hanya Rp 14 miliar, tetapi pada 2010 menjadi Rp 239,27 miliar dan tahun ini Rp 340,46 miliar.

Dari Rp 340 miliar itu, sebanyak Rp 29 miliar diterima 14 lembaga yang dipimpin keluarga dan kerabat petahana Ratu Atut Chosiyah. Bagian lainnya dari dana hibah digunakan untuk membiayai umrah 150 tokoh, forum silaturahim pondok pesantren, safari Ramadhan, serta konsorsium ojek dan becak Tangerang. Ada pula bagian anggaran hibah untuk jajaran birokrat, seperti forum RW, forum camat, forum kepala desa, dan forum silaturahim lurah Kota Serang.

Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten 2007-2012, tidak membantah besaran dan alokasi dana hibah itu. Kendati senyumnya langsung menghilang, calon petahana Pilkada 2011 itu mengatakan, ia hanya melaksanakan tugas sebagai gubernur sebaik-baiknya dan sesuai aturan yang berlaku.

Ketika ditanya mengenai dana hibah yang jatuh ke lembaga yang dipimpin keluarganya, ke lembaga yang tidak jelas, dan kegiatan tidak sepatutnya, Atut menjawab, ”Itu menurut Anda. Siapa pun masyarakat Banten bisa mendapatkan hibah. Sudah ya.” Dia juga tidak menyatakan tidak keberatan dengan laporan ICW ke KPK.

Menurut peneliti senior ICW, Abdullah Dahlan, masih ada celah untuk membocorkan APBD untuk kepentingan pilkada selain dari anggaran hibah, misalnya melalui anggaran di SKPD.

Masih percaya

Peneliti LIPI asal Banten, Lili Romli, mengatakan, kendati terkesan pragmatisme masyarakat sangat berikatan dengan kecurangan calon kepala daerah, masih ada sebagian masyarakat yang menginginkan pemimpin yang baik dan memercayai pilkada sebagai mekanisme untuk mendapatkan pemimpin yang amanah. Bila tak sesuai hati nurani, masyarakat bisa menyatakan protes dengan tidak memberikan suara. Oleh karena itu, tanpa sosialisasi intensif oleh KPU, kecenderungan golput akan tinggi, bahkan bisa lebih dari 30 persen.

Di sisi lain, pengawasan oleh masyarakat sipil, termasuk perguruan tinggi dan media massa, diperlukan supaya kecurangan-kecurangan diproses secara hukum. Adapun kerja sama Badan Pengawas Pemilu dan Universitas Islam Negeri Jakarta untuk memantau proses pemungutan suara juga akan sangat bermanfaat.

Besok: Belajar Demokrasi dari Masyarakat Baduy

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com