YOGYAKARTA, KOMPAS
Sekretaris Jenderal Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) Kirnadi, Kamis (3/11), mengatakan, Permenaker Nomor Per-17/Men/VIII/2005 ditujukan kepada buruh lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Namun, pada praktiknya kebijakan ini juga diimplementasikan bagi buruh yang sudah berkeluarga dan bekerja lebih dari satu tahun.
”Peraturan itu wajib direvisi karena tidak adil bagi buruh yang sudah berkeluarga dan bekerja lebih dari satu tahun,” katanya.
Berdasarkan survei yang dilakukan ABY, kebutuhan hidup layak buruh DIY mencapai Rp 1.157.572 per bulan. Nilai ini belum disesuaikan dengan perkiraan inflasi tahun 2012 sebesar 4,5 persen.
Padahal, usulan upah minimum provinsi (UMP) 2012 yang diajukan Dewan Pengupahan Provinsi kepada gubernur DIY hanya Rp 873.845 per bulan atau naik sekitar 8 persen dari UMP 2011 sebesar Rp 808.000.
”Setiap tahun polemik UMP muncul. Semestinya gubernur dan DPRD membuat peraturan daerah khusus mengatur upah minimum kabupaten/kota. Sebab, Permenaker sudah tidak layak lagi,” kata Kirnadi.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta penetapan UMP 2012 ditunda sambil melihat usulan Dewan Pengupahan Provinsi DIY dan ABY.
Di Karawang, Jawa Barat, buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kabupaten Karawang mengancam mogok kerja secara massal jika upah minimum kabupaten ditetapkan lebih rendah dari angka kebutuhan hidup layak. Sementara itu, usulan Dewan Pengupahan Kota Surabaya sebesar Rp 1.257.000 sangat tidak rasional. Dengan kenaikan 12,73 persen dari upah 2011 sebesar Rp 1.150.000, kesejahteraan buruh di Surabaya makin merosot. Koordinator Aliansi Buruh Menggugat Jawa Timur Jamaluddin mengatakan, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini harus berani menaikkan angka dari usulan dewan pengupahan setempat.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyerahkan keputusan menyangkut penetapan usulan UMK tersebut kepada daerah masing-masing.