Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Abai sejak dalam Pikiran

Kompas.com - 09/12/2011, 04:05 WIB

Oleh Sri Palupi

Menanggapi Amnesty International terkait konflik dan kekerasan di Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menyatakan tak ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

Pernyataan presiden ini memunculkan dua persoalan. Pertama, presiden punya pandangan dan ukuran sendiri soal hak asasi. Kedua, pelanggaran hak asasi dipahami sebatas pelanggaran hak sipil politik yang tampak dalam bentuk tindakan kekerasan. Presiden tak memperhatikan akar soal kekerasan dan konflik berkepanjangan. Padahal, pada banyak kasus, pelanggaran hak sipil politik berakar pada pengabaian atas hak ekonomi, sosial, budaya. Dalam kasus Papua selama ini kita lebih banyak mendengar kematian warga akibat pelanggaran hak sipil politik dalam bentuk kekerasan. Sementara itu, ratusan warga Papua yang mati akibat penyakit dan buruknya pelayanan kesehatan tak cukup mendapat perhatian. Pada 2008, misalnya, tak kurang dari 173 orang Papua tewas akibat kolera.

Kematian akibat penyakit dan buruknya layanan kesehatan masih berlangsung hingga sekarang karena 90 persen desa di Papua tak mendapat akses atas pelayanan publik dan 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam kemiskinan. Sekolah-sekolah tingkat dasar di Papua bertahun-tahun dibiarkan tanpa guru dan buku. Semua kondisi yang menunjukkan penolakan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya ini belum dilihat sebagai persoalan serius terkait pelanggaran HAM.

Tak hanya dalam kasus Papua pemerintah abai terhadap pelaksanaan hak ekonomi, sosial, budaya. Dalam banyak kasus terkait kemiskinan dan pembangunan, pemerintah cenderung menolak hak ekonomi, sosial, budaya. Penolakan itu terjadi sudah sejak dalam pikiran!

Sejak dalam pikiran

Penolakan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya sudah dimulai sejak pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi dan produk domestik bruto (PDB) sebagai indikator pembangunan. Dengan memilih indikator ini, pemerintah menyadari konsekuensinya: kebijakan dan program pembangunan bias pada kalangan atas yang, meski jumlahnya kecil, berkontribusi tinggi terhadap PDB. Pemerintah mengesampingkan soal ketakadilan!

Dalam pemerintahan yang mengedepankan citra, ketakadilan tentu saja tak boleh terkuak secara telanjang. Perlu ada mekanisme mengaburkannya melalui, misalnya, penetapan indikator kemiskinan dan pengangguran yang terlalu rendah. Pengangguran dihitung dengan ukuran bekerja kurang dari satu jam dalam seminggu, yang jauh dari standar internasional: 35 jam per minggu.

Dalam hal ini pemerintah memaksakan anggapan bahwa dengan bekerja satu jam seminggu orang sudah dapat hidup layak. Sementara itu, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan yang nilainya kurang dari Rp 8.000 sehari. Dengan penghasilan kurang dari Rp 8.000 per hari, orang dianggap bisa makan kenyang dan memenuhi kebutuhan sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Selain tak logis, penggunaan indikator seperti itu juga tak manusiawi dan berpotensi melanggar HAM. Jutaan orang miskin bisa kehilangan akses mendapatkan intervensi dari pemerintah hanya karena kondisi mereka berada sedikit di atas kriteria yang ditetapkan pemerintah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com