Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pajak Restoran Diberlakukan, Warteg Keberatan

Kompas.com - 01/02/2012, 03:29 WIB

Jakarta, Kompas - Usaha makanan dan minuman bernilai penjualan minimal Rp 200 juta per tahun akan dikenakan tarif pajak restoran sebesar 10 persen.

Demikian tercantum dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran yang diberlakukan sejak diundangkan pada 29 Desember 2011.

Restoran sebagai obyek pajak ialah penyedia makanan dan atau minuman yang mencakup rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan jasa boga atau katering.

Tarif pajak 10 persen diambil dari jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh restoran (omzet).

Dalam penjelasan disebutkan penyusunan peraturan dilakukan bersama antara Pemerintah Provinsi dan DPRD DKI Jakarta.

Warteg keberatan

Pemberlakuan aturan itu dipertanyakan Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) saat mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa (31/1).

”Kami segera menyusun dan mengajukan langkah hukum agar aturan itu dibatalkan,” kata Sekretaris Jenderal IKBT Arief Muktiono.

Menurut Arief, ada kejanggalan dalam pemberlakuan aturan itu. Pembahasan perda sempat ditunda pada Desember 2010 akibat mendapat tentangan banyak pihak termasuk IKBT.

”Setelah itu, kami tidak pernah tahu atau dilibatkan dalam proses pembahasan, tetapi tiba-tiba sudah disahkan,” kata Arief.

Ali Zakiyudin dari Koperasi Warung Tegal mengatakan, penetapan obyek pajak berupa usaha bernilai penjualan Rp 200 juta setahun atau Rp 547.945 per hari, tidak rasional. Berdasarkan pengalamannya, warung tegal beromzet Rp 500.000 per hari cuma bisa mengantongi keuntungan Rp 75.000. Jika aturan berlaku, pemerintah mendapat pajak Rp 50.000, sedangkan keuntungan pemilik Rp 25.000.

”Dengan keuntungan yang minim itu, mustahil bagi kami untuk menjalankan usaha apalagi membayar pekerja,” kata Ali.

Sudah akomodasi

Sementara itu, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, pajak restoran itu memang sudah disahkan akhir 2011 dan berlaku untuk 2012.

”Semula, menurut aturan sebelumnya (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8/2003) rumah makan bisa dikenakan pajak jika omzetnya Rp 30 juta per tahun. Kini, sudah kami perbaharui menjadi Rp 200 juta per tahun. Ini artinya, kami sudah mengakomodasi aspirasi para pemilik warteg,” kata Iwan.

Biarpun demikian, Iwan berjanji akan melihat kondisi rumah makan atau warteg yang ada di lapangan. Jika memang warteg itu berpenghasilan rendah dan menjadi tumpuan warga berpenghasilan rendah, tidak akan dikenakan pajak.

”Kami tentu akan memilah-milah, mana warteg yang berpenghasilan besar dan mana yang tidak. Tentu kami memakai hati dalam menarik pajak ini,” jelas Iwan.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Suahasil, yang dihubungi terpisah menyatakan, jangan sampai upaya pendataan, pemantauan, dan penarikan tarif dari obyek pajak lebih besar daripada pajak yang ditarik.

Selain itu, lanjut Suahasil, perlu didalami apakah penetapan obyek pajak berupa usaha bernilai penjualan Rp 200 juta setahun, lebih merupakan keputusan politik atau sudah didasari pada kajian dan naskah akademik. (BRO/ARN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com