Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa Miskin Tak Bisa Ambil Ijazah

Kompas.com - 02/02/2012, 10:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ada banyak siswa lulusan sekolah menengah atas dan kejuruan di Jakarta Utara yang belum bisa mengambil ijazah mereka. Umumnya, mereka terganjal pelunasan tunggakan biaya pendidikan yang oleh pihak sekolah dijadikan syarat pengambilan ijazah.

Aduan yang diperoleh Kompas dari sejumlah warga, Rabu (1/2/2012), setidaknya ada 10 siswa di Jakarta Utara yang kesulitan mengambil ijazah di sekolahnya. Bahkan, seorang warga di Tanjung Priok, Lilis Surya Hadiningsih (23), yang lulus tahun 2006 dari SMA Negeri 40 Pademangan, belum bisa mengambil ijazahnya hingga saat ini.

Di SMA Negeri 18, Warakas, Tanjung Priok, bahkan ada lebih dari 40 ijazah kelulusan tahun 1998 hingga 2011 yang belum diambil pemiliknya. Pihak sekolah kini menyimpan lembaran ijazah tersebut di lemari khusus, mengingat ijazah itu tergolong surat penting dan berharga.

Dikarenakan belum bisa mengambil ijazahnya di sekolah, Lilis hanya bisa mengandalkan fotokopi ijazah yang dilegalisasi sekolah untuk melamar kerja sebagai buruh di pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara. Hingga menikah dan sekarang memiliki anak usia satu tahun, Lilis hanya mengantongi fotokopi ijazah.

Lilis mengaku memiliki tunggakan uang gedung sebesar Rp 1 juta di sekolah. Tunggakan itu harus dilunasi agar ijazahnya bisa diambil.

”Penghasilan saya sebagai buruh hanya Rp 1,4 juta per bulan. Itu setiap bulan habis untuk membeli susu dan makanan anak. Saya masih sulit menyisihkan uang untuk melunasi tunggakan di sekolah,” katanya.

Aji Prasetyo (21), yang lulus tahun 2009, juga baru bisa mengambil ijazah di sekolahnya, SMA Negeri 18, setelah melunasi sebagian tunggakan iuran sumbangan sekolah dan uang gedung sebesar Rp 600.000.

Menurut Ani (45), ibu Aji, tunggakan di sekolah sesunguhnya mencapai Rp 1,3 juta, tetapi pihak sekolah memberikan keringanan. ”Saya pun bersyukur adanya keringanan itu sehingga anak saya bisa memperoleh ijazah,” katanya.

Dapat dicicil

Wakil Kepala SMA Negeri 18 Bidang Kurikulum Riamin Manurung membenarkan pelunasan biaya pendidikan menjadi syarat bagi siswa untuk mengambil ijazah. Sebab, pelunasan tunggakan itu harus dilaporkan setiap tahun oleh pihak sekolah kepada dinas pendidikan.

”Pelunasan ini juga untuk menutupi anggaran pendidikan yang kurang,” katanya.

Namun, pelunasan itu, lanjut dia, dapat dicicil sehingga siswa dapat memperoleh ijazahnya. Bahkan, kata Riamin, ada banyak siswa yang pada akhirnya diberikan keringanan pelunasan agar bisa segera diberikan ijazahnya.

”Kami pun memahami sebagian besar siswa di sekolah kami itu miskin,” katanya.

Hanya memang akibat kewajiban pelunasan biaya pendidikan itu, Riamin tidak menampik ada banyak orangtua siswa yang takut datang ke sekolah untuk mengambil ijazah anaknya.

”Makanya, setiap kali kelulusan, saya selalu mendorong setiap siswa untuk segera mengambil ijazahnya. Kalau belum melunasi tunggakan, kami dorong untuk berkomunikasi dengan sekolah biar diberikan jalan keluar,” tuturnya.

Tidak boleh terjadi

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulianto mengatakan, ijazah adalah hak setiap siswa. Sebenarnya masalah ijazah yang tidak bisa diambil karena alasan ekonomi adalah hal yang tidak boleh terjadi.

”Proses pembelajaran, ulangan, ujian, dan ijazah adalah hak siswa dan tidak boleh dikaitkan dengan kondisi ekonomi keluarga,” ujar Taufik.

Seharusnya hambatan ekonomi itu bisa diatasi dengan komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan orangtua.

”Sekolah negeri sebagai aset pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan layanan pendidikan kepada semua warga Jakarta tanpa melihat latar belakang ekonomi,” ujar Taufik.

Namun, sekolah juga tidak bisa membebaskan begitu saja iuran yang menjadi kewajiban peserta didik. Sekolah membutuhkan bukti administrasi untuk bisa membebaskan kewajiban siswa dari iuran.

Sementara itu, Johnny Simanjutak, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI-P, mengatakan, masalah ini terjadi karena ada sesuatu yang putus antara kebijakan di tataran pemerintah dan sekolah.

”Dinas selalu bilang yang bagus dan seolah-olah membela warga. Namun, di tingkat sekolah, kebijakan itu tidak dilaksanakan oleh sekolah dengan berbagai macam alasan,” ungkap Johnny.

Selain itu, keberadaan komite sekolah, yang memang bertugas menjadi jembatan antara orangtua dan sekolah, seharusnya bisa difungsikan lebih jauh lagi.

Masalah hambatan ekonomi di tingkat SMA/SMK bisa teratasi jika wajib belajar di DKI Jakarta ditingkatkan menjadi 12 tahun. Dengan demikian, setiap siswa dapat jaminan bisa menyelesaikan pendidikan. (ARN/MDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com