Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguji Kepemimpinan dari Luar Keraton

Kompas.com - 31/03/2012, 01:59 WIB

Pergeseran kepemimpinan di empat kabupaten dan satu kota di Daerah Istimewa Yogyakarta menggambarkan transformasi kekuasaan dari keraton kepada tokoh politik. Beberapa kepala daerah itu berprestasi bagus, tetapi sebagian lain kurang, bahkan ada yang tersangkut korupsi. Aloysius B Kurniawan, Thomas Pudjo Widijanto, dan Ilham Khoiri

Puluhan siswa berseragam itu asyik bermain di halaman terbuka Taman Pintar di tengah Kota Yogyakarta, suatu sore akhir Maret lalu. Dengan wajah sumringah, mereka menaiki tangga buatan, duduk di jembatan mainan, atau berlarian dari ruang pameran.

”Banyak permainan di sini. Ada dinosaurus besar di dalam,” kata Rahmat (14), siswa SMPN II Kebumen, Jawa Tengah, dengan wajah malu-malu. Dia datang bersama 159 siswa dari sekolahnya.

Taman Pintar menjadi salah satu tujuan wisata pendidikan di Yogyakarta. Ada banyak sarana belajar di sini, mulai permainan terbuka, pameran atau peragaan ilmu pengetahuan dan teknologi, audiovisual, laboratorium, hingga pengenalan sejarah. Sejak diresmikan pada 2009, sudah ada lebih dari sejuta pengunjung.

Kehadiran wahana itu menyegarkan Yogyakarta yang selama ini identik dengan budaya tradisional. ”Sebagai sarana pembelajaran dan pendidikan, taman ini memperkuat Yogyakarta sebagai kota pelajar,” kata Herry Zudianto, Wali Kota Yogyakarta periode 2001-2006 dan periode 2006-2011.

Herry berada di balik proyek taman itu. Sejak tahun 2004, dia berjibaku memindahkan sekitar 1.100 pedagang kaki lima dari areal itu menuju Pasar Giwangan, baru kemudian membangun taman tersebut. Kepiawaiannya sebagai pedagang pakaian yang terbiasa melayani konsumen diterapkan untuk pelayanan masyarakat.

Herry mewakili kepala daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berprestasi. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menjabat wali kota lewat pemilihan kepala daerah secara langsung.

Prestasi juga ditunjukkan Idham Samawi, Bupati Bantul periode 1999-2004 dan periode 2005-2010. Dia membuat beberapa kebijakan pro-rakyat. Ada program beli hasil pertanian saat harga turun, pembangunan Pasar Seni Gabusan untuk sentra pemasaran kerajinan lokal, serta fasilitas pinjaman tanpa agunan bagi pedagang pasar.

”Kami memihak petani, perajin, dan pedagang pasar karena mereka mayoritas rakyat Bantul,” kata politisi yang kini menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDI-P) DIY itu.

Dengan prestasi itu, dia terpilih hingga dua periode. Bahkan, pada Pilkada 2005, Idham mengalahkan calon dari keluarga Keraton Yogyakarta, yaitu Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat yang merupakan adik Sultan Hamengku Buwono X. Saat ini, istri Idham, Sri Suryawidati, dipercaya menjadi Bupati Bantul.

Catatan menjanjikan juga diperlihatkan Bupati Sleman saat ini, Sri Purnomo, yang memimpin pengungsian lebih dari 25.000 jiwa warga dari lereng Gunung Merapi saat erupsi tahun 2010. Kinerja baik juga dilakukan Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo dengan menggelar pengobatan gratis di semua puskesmas di wilayahnya.

Prestasi beberapa kepala daerah itu mencerminkan transformasi menarik dalam kepemimpinan di DIY. Dahulu, pang- reh praja atau sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta terbagi atas empat kabupaten, yaitu Yogyakarta, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo, dipimpin seorang bupati yang merupakan abdi dalem keraton. Satu kabupaten tambahan adalah Sleman, sebelumnya kawedanan di bawah Kabupaten Yogyakarta (Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya, 2010).

Transformasi

Kini, Keraton Yogyakarta telah bermetamorfosis menjadi provinsi dengan lima kabupaten/kota. Tak seperti Sultan dan Paku Alam yang ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur, kepala daerah di kabupaten dan kota itu dipilih dalam pilkada langsung. Mereka berasal dari beragam latar belakang, seperti pengusaha, dokter, birokrat, atau politisi.

Dalam mekanisme demokrasi, mereka harus melakukan kerja-kerja politik. Untuk mencalonkan diri, misalnya, setiap bakal calon harus diusung partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD kabupaten atau kota. Mereka juga mesti merebut hati rakyat, serta membangun kredibilitas dan popularitas dengan citra yang baik.

Ketika menjabat pun, kepala daerah dituntut sungguh-sungguh bekerja nyata agar tidak kehilangan kepercayaan rakyat. Kepala daerah jadi jabatan publik yang dikompetisikan secara terbuka. Harapannya agar lahir pemerintahan yang bertanggung jawab, bersih, adil, dan melibatkan partisipasi masyarakat.

Menurut pengajar Hukum Administrasi dan Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, kondisi itu menguntungkan masyarakat di DIY. Paling tidak, rakyat di tingkat kabupaten dan kota bisa menjalankan demokrasi langsung. Dengan pemimpin terbaik, setiap daerah berpeluang mengembangkan diri.

Namun, kesuksesan daerah tersebut tak lepas dari peran Sultan sebagai Raja Keraton Yogyakarta dan Gubernur DIY. Selama ini, Sultan berkomitmen untuk memberikan keleluasaan bagi setiap kepala daerah untuk berinovasi, membuat program-program populis, dan meningkatkan pelayanan publik.

”Agak sulit membayangkan program-program di kabupaten atau kota itu bisa berjalan tanpa iklim kondusif dari Sultan,” kata Oce Madril.

Perbandingan

Tidak semua kepala daerah di DIY berprestasi. Sebagaimana di wilayah-wilayah lain di Indonesia, sebagian pemimpin lokal itu masih kurang, bahkan gagal memajukan daerah. Beberapa tersandera kepentingan partai dan pribadi, bahkan ada yang terjerat kasus korupsi.

Contoh terakhir itu adalah Ibnu Subiyanto, mantan Bupati Sleman. Dia dihukum penjara akibat terlibat kasus korupsi pengadaan buku ajar. Meski memperoleh amanat sebagai kepala daerah lewat pemilihan demokratis, ternyata kekuasaan itu juga rawan diselewengkan untuk keuntungan pribadi.

Bagi Oce Madril, fenomena korupsi di beberapa daerah membuktikan tidak ada jaminan bahwa demokrasi selalu melahirkan pemimpin yang baik. ”Pilihan langsung rakyat juga berpotensi melahirkan pemimpin yang buruk kapasitas, manajemen, dan integritasnya. Ini risiko demokrasi,” katanya.

Warna-warni kepemimpinan kepala daerah di kota dan kabupaten tersebut menjadi bahan perbandingan menarik bagi model kepemimpinan di DIY—yang kini masih diperdebatkan bentuk keistimewaannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com