Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada pada Tarikan Politik Identitas

Kompas.com - 01/06/2012, 01:58 WIB

C Wahyu Haryo PS dan A Handoko

Pemilihan kepala daerah secara langsung di Kalimantan Barat dalam lima tahun terakhir ini memunculkan fenomena menarik, ketika warna ”politik identitas” makin mengemuka. Elite politik yang akan bertarung dalam pilkada ataupun konstituen menjadikan kesamaan etnis sebagai acuan.

Elite politik yang akan bertarung dalam pilkada di Kalbar cenderung menjadikan identitas etnisitas sebagai sarana perekat untuk meraih dukungan. Sebaliknya, konstituen juga menjadikan kesamaan etnis mereka dengan para kandidat sebagai acuan dalam memilih pemimpin mereka.

Kalbar, dengan jumlah penduduk hampir 4,5 juta jiwa, tergolong majemuk dari sisi etnisitas. Komposisinya, etnis Dayak dan Melayu dengan kuantitas yang dominan, disusul etnis lain seperti Tionghoa, Jawa, Bugis, dan Madura. Warga etnis Dayak jumlahnya dominan di wilayah pedalaman, sedangkan etnis Melayu dominan di pesisir/perkotaan.

Politik identitas mulai mengemuka dalam pemilihan gubernur secara langsung di Kalbar pada tahun 2007, yang dimenangi pasangan Cornelis-Christiandy Sanjaya (perpaduan etnis Dayak dan Tionghoa).

Pasangan Cornelis-Christiandy Sanjaya meraih 43,6 persen suara pemilih, mengalahkan tiga kontestan lain yang mengusung perpaduan calon gubernur dari etnis Melayu dan calon wakil gubernur dari etnis Dayak. Basis dukungan mereka dominan berada di wilayah pedalaman, sedangkan tiga kontestan lain cenderung berbagi dukungan di wilayah pesisir.

Aminuddin (34), warga pesisir di Kabupaten Kubu Raya, mengakui, kesamaan etnis menjadi pertimbangan utama dalam menentukan calon gubernur yang akan dipilihnya. ”Kami orang Melayu, tentu akan memilih calon orang Melayu,” katanya.

Sementara kecenderungan warga pedalaman memilih calon gubernur dari etnis Dayak, salah satunya diungkapkan Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang, di Kabupaten Sanggau. ”Pemikiran warga sangat sederhana, pemimpin yang berasal dari satu suku dipercaya akan lebih memperjuangkan kepentingan warga karena perasaan senasib dan satu bahasa,” katanya.

Hal senada dikatakan Halian (30), warga Kampung Sepanjang, Desa Sungai Sambang, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau. Dia mengatakan, sebagian warga menggunakan hak pilih mereka karena kedekatan suku, golongan, atau agama mereka dengan para kandidat.

Peminggiran

Pengamat politik dari Universitas Tanjungpura Gusti Suryansyah menyatakan, secara teoretis, politik identitas etnis ini lahir karena munculnya kesadaran akan adanya peminggiran terhadap kelompok tertentu.

Dalam konteks di Kalbar, peminggiran itu dialami etnis Dayak semasa penjajahan Belanda dan zaman kerajaan, sebagian masih dirasakan juga pada masa kemerdekaan. Kesadaran akan identitas etnis ini menguat dan disusul keterlibatan aktif untuk meraih legitimasi saat reformasi bergulir dan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung.

Pemerhati sosial William Chang melihat, fenomena politik identitas di Kalbar ini sebagai gejala kebangkitan sosial masyarakat dalam merespons sistem pemerintahan sebelumnya yang belum berkeadilan, proporsional, dan egaliter. Namun, jika dilihat dari perspektif demokrasi, praktik politik identitas itu justru sebagai sebuah kemunduran.

”Demokrasi yang sehat sebenarnya melihat warga negara tanpa pengotak-ngotakkan (etnisitas) itu. Namun bagi mereka yang menjalani, hal itu merupakan kebangkitan awal untuk berpolitik,” katanya.

Senada hal itu, Suryansyah berpandangan, proses demokratisasi di Kalbar sudah sesuai prosedur. Namun, secara substansial agak mengkhawatirkan. ”Idealnya, pemilihan gubernur Kalbar tidak lagi berdasarkan etnis maupun agama, tapi berdasarkan kemampuan calon,” katanya.

Kontestasi Pilkada 2012

Dalam pilkada Kalbar yang akan berlangsung September tahun ini, politik identitas diprediksi masih akan terjadi. Indikasi itu, menurut Suryansyah, terlihat dari pemilihan pasangan calon yang akan diusung partai politik.

”Elite politik yang akan maju dalam pilkada masih mempertimbangkan etnisitas saat memilih pasangan calon wakil gubernur,” katanya.

Nama calon gubernur yang mengemuka dalam pilkada kali ini, antara lain, Cornelis (incumbent atau petahana), Ketua DPD Golkar Kalbar yang juga mantan Bupati Ketapang Morkes Effendi, Ketua DPD Gerinda Kalbar Abang Tambul Husin, dan Mayjen Armyn Alianyang.

Cornelis kemungkinan akan mempertahankan Christiandy sebagai pasangannya. Morkes, yang berasal dari etnis Melayu, kemungkinan akan berpasangan dengan kader Partai Amanat Nasional Burhanuddin A Rasyid yang juga mantan Bupati Sambas dan beretnis Melayu.

Abang Tambul, yang berasal dari etnis Melayu, kemungkinan akan berpasangan dengan Barnabas Simin yang beretnis Dayak. Sedangkan Armyn Alianyang, yang kini menjabat Staf Ahli Panglima TNI Bidang Komunikasi Sosial, kemungkinan akan menggandeng Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalbar Fathan A Rasyid. Kepastian dari calon yang akan maju ini masih ditentukan ”perahu” parpol yang akan mengusung mereka.

Menurut Cornelis, politik identitas sejatinya tidak digariskan dalam kebijakan partainya. Politik identitas ini dikembangkan sebagian elite di parpol, tetapi tanpa menyalahi ketentuan yang ada.

Dalam konteks permasalahandi Kalbar, menurut Cornelis, politik identitas ini menjadi penting untuk menunjukkan eksistensi etnis Dayak yang selama ini terpinggirkan dan tertindas. Bahkan kalau perlu, politik identitas ini menjadi kekhasan di Kalbar.

Sekretaris DPD Partai Demokrat Kalimantan Barat Rasmidi mengatakan, politik identitas tidak menjadi strategi partainya. Alasannya, isu primordial tidak akan memberi kontribusi signifikan terhadap perkembangan dan jumlah massa partai. Isu-isu mengenai keberagaman justru bisa menarik perhatian calon pemilih.

Sementara itu, peneliti Charta Politika Arya Fernandes menyatakan, hasil survei di Kalbar yang dilakukan pada Februari lalu menunjukkan, faktor yang dominan memengaruhi publik dalam memilih pemimpinnya adalah pertimbangan akan isu ekonomi dan suku. Selain itu, secara umum ada korelasi positif antara tingkat dukungan publik dan daerah asal kandidat.

William Chang berharap, politik identitas ini hanyalah sebuah transisi demokrasi untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih berkeadilan dan proporsional. Jika sistem yang lebih mengakomodasi kebinekaan tersebut terwujud dan pada saatnya para elite politik mulai menanggalkan politik identitasnya, niscaya demokratisasi di Kalbar akan lebih berkualitas.

Besok: Partisipasi Pemilih Tinggi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com