Namun, biaya sebesar itu seperti menguap karena tak satu pun yang berfungsi. Pasar kampung menganggur karena tanaman komoditas selain karet masih dirintis. Gudang pupuk kosong melompong tak didatangi penyalur. Adapun jaringan air bersih
Situasi politik lokal memang acap kali riuh dengan konflik terkait pemekaran wilayah dan pilkada. Namun, dinamika masyarakat Papua tetap mencerminkan adanya semangat untuk menuju peradaban bermartabat.
Tanpa menafikan daya kritis dan sikap skeptis, fakta di lapangan menyuguhkan cara memandang Papua dalam perspektif lebih luas dan optimistis. Tampak daya hidup masyarakat untuk melakoni proses transformasi di segala bidang. Tentu saja tidak proporsional jika hasilnya selalu diukur dengan parameter seragam (nasional).
Guru dan anak-anak di Asolokobal, Jawijaya, misalnya, tetap giat belajar-mengajar meski fasilitas persekolahan jauh dari memadai.
Dokter, perawat, dan bidan bergairah melayani warga di pelosok tanpa takut terkena malaria dan kolera. Juga tak ada rasa takut menjadi sasaran bidik pemanah dan penembak misterius. ”Niat kami tulus untuk melayani sesama, siapa takut?” ujar Agnes Barabara Kundimgo (38), bidan di Boven Digoel.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok terjadi transformasi dari pola subsisten ke pola bercocok tanam dalam sebuah interaksi kultural. Selain meneruskan warisan bercocok tanam yang diwariskan Pemerintah
Tak kalah pesatnya, sejumlah ruas jalan terbangun untuk menjawab kendala geografis dan minimnya sarana penerbangan. Dua tahun lagi, 11 ruas jalan provinsi poros utara-selatan Papua (2.739 kilometer) rampung, seperti ruas Nabire-Paniai (262 kilometer) dan Merauke-Tanah Merah (460 kilometer).
”Sebentar lagi penyaluran bahan pokok tak bergantung pesawat Twin Otter,” ujar Yunus (45), pedagang yang usahanya kerap terganggu cuaca buruk.
Bahwa di sana-sini masih ada kesenjangan dan ketertinggalan, peneliti LIPI, Muridan S Widjojo, melihat itu sebagai persoalan yang berakar dari kurangnya perhatian pemerintah pada kapasitas budaya masyarakat Papua.