Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korban Kebakaran: Semoga Derita Ini Cepat Berakhir

Kompas.com - 30/07/2012, 13:13 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Deru suara kereta menambah bising keramaian lokasi pengungsian korban kebakaran Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, pada Minggu (29/7/2012) siang. Lokasi pengungsian di bawah kolong flyover Jembatan Hitam begitu penuh sesak. Tenda-tenda pengungsian berjejer di pinggir kali yang warna airnya menghitam.

Ratusan warga terlihat tumpah ruah di satu titik, tempat pakaian-pakaian bekas ditebar begitu saja. Anak kecil hingga tua muda sibuk berebut baju-baju "baru" tersebut. Beberapa lainnya tampak memilih berbaring di bawah kolong jembatan dengan harta benda yang berhasil diselamatkan dari api. Sementara itu, sekitar 100 meter dari lokasi pengungsian, terdapat satu keluarga yang memilih membentangkan terpal di atas puing reruntuhan rumah mereka.

Supriyatin (46) berdiri di depan tenda terpal itu. Wanita ini hanya memakai daster yang diakuinya didapat dari sumbangan para donatur. Mukanya yang putih tersaput debu dan abu puing-puing yang terbang ditiup angin. Raut kesedihan tampak di muka ibu tiga anak itu. Namun, suami dan anak-anaknya berusaha menghibur hati Supriyatin.

"Dibawa senang aja Bu, kita emang bisa gimana lagi," ujar sang suami, Ibrahim (46).

Supriyatin berusaha tegar. Dia menceritakan bahwa dulu di tempat dia berdiri itu terdapat sebuah ruang tamu. Namun, yang tersisa kini hanya tembok. Sisanya sudah menjadi arang. "Dari kecil saya sudah tinggal di sini. Saya generasi ketiga. Tapi baru kali ini aja kebakaran. Biasanya yang kebakaran bukan di RT ini," tutur Supriyatin.

Rumah Supriyatin adalah satu dari 203 rumah yang hangus terbakar pada Sabtu (28/7/2012). Kebakaran itu membuat 1.350 warga kehilangan rumah dan harta bendanya. Selain itu, dua anak balita atas nama Rama (4) dan Andin Lestari (3,5) menjadi korban tewas dalam peristiwa itu.

Kecamatan Tambora dengan kepadatan penduduk 43.789 jiwa per kilometer persegi merupakan Kecamatan terpadat se-Asia Tenggara. Kebakaran pun kerap terjadi di lokasi ini. Namun, sepanjang tahun 2012, kebakaran pada Sabtu lalu adalah yang terbesar.

Supriyatin mengaku semua harapannya runtuh melihat api begitu besar berkobar di rumahnya. Ketika itu, ia sedang pergi bekerja di pabrik konveksi yang tak jauh dari rumah. Tiba-tiba ia melihat asap hitam membumbung tinggi di langit. Orang-orang pun berteriak kalau ada kebakaran di Jembatan Hitam. Cepat-cepat, ia langsung pergi ke rumahnya.

"Saya sempat ingin ambil surat-surat, tapi itu sudah kebakar semua," kenang Supriyatin. Hanya pakaian yang melekat di tubuhnya dan dompet berisi uang Rp 15.000 yang kini menjadi harta satu-satunya.

Sang suami, Ibrahim, tampak lebih ikhlas menghadapi cobaan ini. Pria yang bekerja menjadi kurir di perusahaan travel itu mengungkapkan bahwa ada tiga kerabatnya yang rumahnya turut dilalap api. "Ada tiga rumah punya saudara saya. Semua itu habis juga, sama seperti kita. Jadi senasib sepenanggungan, mau diapain lagi," paparnya.

Bingung minta bantuan

Sebagian besar warga Pekojan memang tinggal berdekatan dengan keluarganya. Alhasil, saat kebakaran melanda RW 07 dan RW 08, nyaris warganya tidak tahu harus meminta bantuan ke mana. "Bingung juga mau minta tolong ke siapa karena saudara juga kena musibah," imbuh Ibrahim.

Demikian pula yang terjadi pada Asiah (48). Ia hanya tinggal bertiga dengan dua anaknya yang masih bersekolah. Anak tertuanya tinggal di RW 08 Pekojan. "Anak tertua saya rumahnya selamat. Tapi baru 5 bulan lalu, rumah dia habis terbakar, jadi ini baru bangun lagi," ucapnya.

Asiah tidak mau merepotkan anaknya yang baru saja tertimpa musibah serupa. Rumah anak tertuanya itu juga sempit, hanya bisa ditinggali 3 orang. "Mereka cuma rumah petakan, nggak mungkin saya minta tolong lagi," imbuhnya.

Baik Asiah maupun Supriyatin menyadari betul risiko tinggal di permukiman padat, terutama Tambora yang sering dilanda kebakaran. Namun, himpitan ekonomi dan terbatasnya lahan di Ibu Kota membuat keduanya mau tak mau tinggal di perumahan petak ala kadarnya.

Harus bangkit

Untuk sementara ini, Asiah memilih tinggal di posko pengungsian di Kelurahan Pekojan. Sementara itu, Supriyatin dan anggota keluarganya bersikeras tetap mendirikan terpal di halaman rumahnya yang gosong. "Nanti saja kalau malam saya pindah ke kolong jembatan," ucap Supriyatin.

Keduanya paham bahwa posko pengungsian itu tak selamanya ada. Bantuan dari para donatur pun tidak selamanya tersedia. Mereka harus bangkit, menata kembali kehidupan mereka. Sejumput harapan akan kembali mendapatkan rumah menjadi penyemangat kedua ibu tersebut. "Saya sangat berharap rumah ini kembali seperti dulu. Walaupun tidak sama, setidaknya bisa buat kami tinggal," imbuh Supriyatin.

Asiah pun memiliki harapan yang sama. Namun, untuk membangun rumah tentu diperlukan waktu yang tidak sedikit. Asiah pun menyadarinya. "Saya belum tahu mau ke mana. Tapi tadi warga banyak yang nawarin tinggal di kontrakan petak sebulan Rp 300.000. Sepertinya saya ambil itu. Uang nggak punya karena semua terbakar. Kita berharap bantuan dari pemerintah," ujarnya.

Butuh selimut dan mukena

Hari sudah semakin malam. Listrik di beberapa RW kawasan Pekojan belum juga menyala akibat kebakaran lalu. Sebagian besar warga, yang rumahnya tidak terbakar, memilih menggelar tikar di luar rumah. Memasang lilin seadanya. Sementara itu, ribuan pengungsi masih tumpah ruah di kantor kelurahan, halaman rumah warga lain, hingga kolong jembatan.

Di kelurahan, para pengungsi tampak masih ada yang menghabiskan santapan berbukanya. Sebagian beristirahat di karpet yang disediakan pemda. Sementara itu, kondisi memprihatinkan terjadi pada pengungsi yang tinggal di halaman rumah warga dan kolong jembatan.

Di halaman rumah warga, para pengungsi hanya bermodalkan kardus-kardus yang digelar. Yang berada di kolong jembatan, beberapa tidur di atas terpal dan beberapa yang tidak kebagian tempat membuat tempat sendiri dari kardus. Mereka tidur terlelap tanpa selimut meski udara malam itu cukup dingin akibat angin kencang.

"Dari kemarin kita belum kebagian selimut," ucap Supriyatin.

Di tengah nuansa Ramadhan, para pengungsi mengaku terkendala menjalankan ibadahnya. "Tidak ada mukena yang dibagikan, padahal biasanya ada kalau lagi kebakaran begini," ungkap Ati, yang terpaksa tidak bisa melakukan shalat magrib karena mengantre terlalu lama untuk menggunakan mukena milik warga lain.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Dinginnya malam membuat sebagian besar anak balita menangis. Para orangtua tampak berusaha menenangkan anak-anaknya. Mereka berharap agar derita ini segera berlalu. "Rasanya ingin sekali seperti dulu. Punya rumah. Sekarang kami seperti gembel," ujar Ati setengah bergumam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com