Jakarta, Kompas -
Hal ini diungkapkan Greg Barton, peneliti Herb Feith untuk Studi tentang Indonesia di Monash University, Australia, dalam diskusi fundamentalisme dan terorisme di Redaksi
Greg menjelaskan, terorisme tak hanya menjadi masalah di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia. Kondisi itu, antara lain, dipicu anggapan adanya ketidakadilan politik, resesi ekonomi, dan penularan ideologi kekerasan internasional. Saat ini terus bermunculan sel-sel baru yang cukup otonom dari organisasi besar, kurang terkontrol, dan cenderung tidak sabar.
Menurut dia, Detasemen Khusus 88 memperlihatkan kinerja bagus dengan menangkap sekitar 700 terduga teroris, 600 orang di antaranya dipenjara. Namun, program ini belum benar-benar bisa menangkal terorisme.
”Kalau hanya memburu anggota kelompok teroris, konfrontasi, ada yang tewas, atau ditangkap, itu bukan solusi jangka panjang,” ujarnya.
Untuk itu, diperlukan terobosan sebagai jalan alternatif memerangi terorisme. Salah satunya lewat program
Ahmad Suaedy menilai, pemerintah saat ini cenderung membiarkan aksi-aksi intoleransi, bahkan kriminal, terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda pemahaman atau keyakinan. Padahal, kondisi ini akan turut menyuburkan radikalisme dan terorisme.