Penyebabnya, sebagaimana disebutkan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, adalah karena rendahnya kapasitas birokrasi ataupun karena unsur kesengajaan. Unsur kesengajaan yang dimaksud adalah mencadangkan anggaran untuk tahun berikutnya ataupun kepentingan kepala daerah beserta para pembantunya untuk mendapat komisi dari pihak bank.
Ekonom Sustainable Development Indonesia, Dradjad Hari Wibowo, dihubungi di London, Senin (8/10), menyatakan, dana transfer pada akhirnya hanya menjadi alat subsidi bagi birokrasi daerah. Hal ini terkonfirmasi dari besarnya anggaran pembangunan yang mengendap di bank karena tak terserap pada tahun berjalan.
Pada tahun anggaran berikutnya, Dradjad melanjutkan, anggaran tersebut lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi.
Artinya, hak rakyat menikmati pelayanan publik yang lebih baik menjadi tertunda atau bahkan menjadi tidak jelas lagi.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, mayoritas anggaran daerah yang tak terserap dan akhirnya mengendap di bank adalah belanja modal. Setelah menjadi sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA), anggaran itu masuk ke dalam struktur pembiayaan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berikutnya.
Persoalannya, Robert menegaskan, anggaran itu umumnya digunakan untuk belanja operasional birokrasi. Artinya, terjadi pengalihan peruntukan dari yang awalnya untuk belanja modal menjadi belanja pegawai.
”Belanja pegawai tidak semuanya bisa ditutup dengan DAU (Dana Alokasi Umum). DAU hanya bisa menutup gaji pegawai yang menjadi salah satu komponen dalam belanja pegawai. Dengan demikian, komponen di luar itu, seperti biaya operasional, akan menggunakan sumber dana lain. Dalam hal ini adalah
Secara terpisah, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko menyatakan, besarnya anggaran negara yang mengendap di bank membuktikan daya serap anggaran oleh pemerintah daerah secara rata-rata buruk. Bagi masyarakat, ini berarti hilangnya kesempatan ekonomi.
”Anggaran sudah tersedia, tetapi tidak dieksekusi untuk program-program yang memiliki efek ekonomi berantai,” kata Prasetyantoko.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Salsiah Alisjahbana menyatakan, besarnya anggaran pemerintah daerah yang mengendap di bank adalah persoalan daya serap pemerintah daerah. Dengan demikian, solusinya adalah mendorong pemda menyelenggarakan sistem pengadaan barang dan jasa elektronik yang lebih transparan dan cepat.