Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Tata 20 Pasar Tradisional

Kompas.com - 25/10/2012, 03:02 WIB

Pedagang masih harus membayar retribusi Rp 10.000 per hari. Selain itu, pedagang juga harus menambah atap terpal untuk menghalangi sinar matahari langsung atau hujan.

Di Pasar Abdul Gani, pedagang juga berharap ada perbaikan pasar dan retribusi ringan bagi pedagang. Rufaidah, pedagang ikan asin, mengatakan, pedagang harus membayar berbagai macam pungutan, minimal Rp 10.000 per hari. ”Ini memberatkan pedagang. Apalagi, sekarang pasar ini sepi,” katanya.

Dari retribusi yang ditarik kepada pedagang, hanya Rp 3.000 yang resmi dan ada karcisnya. Selebihnya adalah pungutan dari beberapa pihak.

”Karena saya niatnya mau berdagang, ya, terpaksa bayar,” kata Iim, pedagang sayur yang sudah berjualan sekitar 20 tahun.

Pasar terpadu

Sebanyak empat pasar tradisional di Jakarta akan ditata menjadi pasar terpadu dengan hunian warga tidak mampu. Keempat pasar itu adalah Pasar Rumput, Setiabudi; Pasar Minggu; Pasar Rawasari, Cempaka Putih; dan Pasar Cempaka Putih.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Rabu, mengatakan, penataan pasar menjadi pasar terpadu dilakukan untuk mengakomodasi warga miskin kota yang bekerja di pasar, tetapi tempat tinggalnya jauh dari pasar tersebut. ”Mereka sudah kesulitan ekonominya masih dibebani biaya transportasi. Maka, rencananya akan dibuat pasar kombinasi hunian,” ujarnya.

Rencananya, pasar akan dibangun di lantai 1 dan lantai 2. Lantai 3 dan lantai 4 yang biasanya sepi pedagang akan dibangun untuk hunian. Bangunan untuk hunian bisa ditambah untuk rumah susun sewa dan dilengkapi dengan fasilitas, seperti klinik dan perkantoran.

Direktur PD Pasar Jaya Djangga Lubis mengatakan, penataan pasar menjadi pasar terpadu juga sekaligus menghilangkan kesan kumuh pasar tradisional.

”Pasar yang akan diubah menjadi pasar terpadu adalah pasar yang sudah habis hak pakainya. Namun, ke depan, pasar-pasar akan ditata dengan konsep semacam itu. Kemungkinan baru akan dibangun tahun 2014 karena masih perlu dikaji secara mendalam,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com