Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merana di Rusun Marunda

Kompas.com - 21/11/2012, 02:56 WIB

Saat sebagian warga hidup berimpit di gang-gang sempit, bantaran sungai, kolong jembatan, dan jalan layang, ternyata ada 1.900 unit di Rumah Susun Sewa Marunda, Jakarta Utara, kosong tak terhuni. Bahkan, rusun itu kosong sejak rampung dibangun tahun 2007-2009. Inilah secuil ironi Ibu Kota.

Rusunawa Marunda bisa jadi anomali di tengah tingginya kebutuhan rumah di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat kekurangan 13,6 juta rumah pada tahun 2010. Mayoritas merupakan kebutuhan dari masyarakat menengah bawah. Sementara itu, 1.900 dari total 2.600 rusunawa di Marunda menganggur bertahun-tahun. Ada 26 tower (blok) di sana, masing-masing memiliki 100 rumah.

Lama tak dihuni, bangunan pun rusak. Cat tembok tampak kusam dan mengelupas di banyak sisi. Fondasi retak dan sebagian ubin pecah berserak. Lumut dan rumput tumbuh liar membuat sebagian dinding tampak hijau tua dari kejauhan.

Banyak fasilitas juga sudah hilang. Lampu, kabel, besi penyangga jaringan, instalasi pemadam, sebagian kaca dan kusen jendela, serta daun pintu tak ada lagi. Mayoritas hilang dicuri.

Kondisinya jauh dari nyaman. Beberapa waktu lalu, saat Kompas melihat lokasi, matahari sebenarnya sangat menyengat. Pengukur suhu menunjukkan 32 derajat celsius. Namun, Hidayah Karwan Widodo (54) meringkuk seperti kedinginan. Kasur dan beberapa perabotnya basah oleh tetesan air dari langit-langit kamarnya. Hampir separuh kasur Hidayah basah. Tetesan air juga menimpa karpet, lemari pakaian, dan rak-rak dokumen di kamar tidur depan. Kondisi ini memaksanya tidur meringkuk, menghindari tetesan agar tak kuyup.

Rupanya, tangki penampung air di lantai 6, tepat di atas unit rumah yang dihuni Hidayah di Blok Bawal, bocor. Sakelar otomatis pompa juga tak berfungsi sehingga air kerap meluber keluar tangki. Jejak kebocoran terlihat di tangga tengah blok itu.

Berulang perwakilan penghuni mengadu, tetapi tak dapat tanggapan dari pengelola. Mereka pun swadaya mengatasi kebocoran dengan membuat saluran baru. Namun, air masih menggenang, merembes ke unit-unit di lantai bawah.

Pada tangga sisi timur Blok Bawal, kondisi lain terlihat. Warga memasang tiga batang kayu untuk menopang pagar yang rapuh. Pada sudut lain, keramik lantai tak secorak lagi. Warga secara swadaya mengganti keramik pecah dan terkelupas dengan yang baru.

Tak hanya kerusakan infrastruktur, penghuni Rusunawa Marunda juga mengeluhkan sulitnya mengakses transportasi umum dari dan menuju rusun serta ketiadaan pasar, puskesmas atau rumah sakit, dan sekolah.

”Tiga tahun lalu, angkutan kota rajin masuk ke kawasan rusun, tapi tukang ojek protes karena lahan penghasilannya hilang. Akses angkot kemudian dibatasi dan sekarang tinggal satu dua yang berani masuk. Itu pun sampai pukul 16.00 saja,” kata Susana (30), penghuni Blok Bandeng 107 Rusun Marunda.

Susana harus tiga kali ganti moda untuk pergi ke pasar terdekat di Jalan Baru Cilincing. Setelah mengojek Rp 5.000 untuk jarak 1,5 kilometer dari Rusun Marunda ke Jalan Akses Marunda, dia harus dua kali ganti angkot lagi. Total ongkos Rp 12.000 sekali jalan. Bukan perkara murah bagi buruh serabutan seperti Susana.

Salah sasaran

Saat berkunjung ke kawasan itu, Kamis (18/10), Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tampak prihatin. ”Apa sudah dipromosikan agar terisi semua?” tanya Jokowi, panggilan Joko Widodo, kepada sejumlah pejabat di lingkungan Dinas Perumahan DKI Jakarta.

”Sudah Pak,” jawab Kusnindar, Kepala Unit Pengelola Teknis Rumah Susun Wilayah Jakarta Utara. Anggota staf lain menimpali, ”Di web Pak”. Jokowi tersentak. Dia menilai promosi rusun lewat internet kurang tepat.

Jokowi khawatir subsidi yang dikucurkan pemerintah daerah salah sasaran. ”Sebaiknya, buat saja selebaran, sebar di kampung-kampung kumuh biar pada pindah ke sini, biar cepat penuh,” pinta Jokowi.

Tarif sewa Rusun Marunda relatif murah, Rp 128.000- Rp 159.000 per bulan (tergantung lantai) untuk unit subsidi, dan Rp 304.000-Rp 371.000 per bulan untuk unit umum. Bandingkan dengan rumah petak atau kamar indekos ukuran 3 meter x 4 meter di kawasan itu yang disewakan Rp 350.000-Rp 500.000 per bulan.

Akan tetapi, tak sedikit penghuni Rusun Marunda menunggak bayar. Dua jam setelah Jokowi meninggalkan lokasi, pengelola melayangkan surat peringatan kepada para penunggak. Jumlahnya tak sedikit, 410 penghuni dari total 700 penghuni dengan nilai tunggakan Rp 2,3 miliar. Ini akumulasi ketidaktegasan pengelola, sekaligus sikap tak acuh dan ketidakmampuan sebagian penghuninya.

Tak hanya urusan bayar sewa, kekacauan juga terjadi dalam hak hunian. Unit rusun sewa itu seharusnya tak boleh dipindahsewakan, tetapi tak sedikit dioper ke orang lain dengan tarif sewa lebih tinggi. Seorang penghuni baru dari Gresik, Jawa Timur, mengaku menyewa satu unit ke penyewa sebelumnya Rp 750.000 per bulan, sekitar lima kali lipat dari tarif sewa resmi.

Sejumlah penghuni mengkritik prosedur huni yang tak mudah. Mereka juga menceritakan praktik kotor oknum pengelola yang mematok ”tarif” untuk bisa menempati rusun, alih penghuni, atau memperpanjang surat perjanjian sewa (berlaku dua tahun).

”Tak hanya praktik pungutan liar, anggaran perawatan juga perlu diaudit dan diawasi karena warga tak pernah tahu ada perbaikan di sini. Ke mana larinya uang itu? Warga swadaya membangun lapangan olahraga, taman pendidikan, dan sarana lain,” kata Didik Suwandi (33), Wakil Ketua RW 10 Rusun Marunda.

Makelar alih sewa

Kusnindar menyangkal tuduhan itu. Dia justru menuding ada makelar yang berusaha mengeruk untung melalui praktik alih penghuni ilegal. Mereka berusaha mendapatkan unit rusun kemudian menyewakan atau mengalihkannya kepada orang lain.

Alih sewa dan alih penghuni dilakukan secara sembunyi. Namun, kata Kusnindar, praktik itu berkurang melalui seleksi calon penghuni, antara lain mensyaratkan belum punya rumah, berpenghasilan kurang dari Rp 2,5 juta, dan punya kartu tanda penduduk DKI Jakarta.

Penyerahan aset

Kusnindar menyebutkan, Rusun Marunda terbagi dalam tiga kluster, yakni A, B, dan C, berdiri di atas lahan seluas 26 hektar dengan total 26 tower dan 2.600 unit. Tiap unit berukuran 30 meter persegi dengan dua kamar tidur, satu dapur, kamar mandi, ruang jemur, dan ruang tamu.

Tak semuanya dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kluster C yang memiliki 5 tower, misalnya, dibangun Kementerian Perumahan Rakyat. Sementara itu, sebagian tower di Kluster A dibangun Kementerian Pekerjaan Umum. ”Mayoritas unit yang belum dihuni asetnya belum diserahkan ke Pemerintah DKI Jakarta sehingga kami belum berhak mengelolanya,” kata Kusnindar.

Pemerintah daerah, lanjut Kusnindar, menganggarkan Rp 2,5 miliar per semester untuk perawatan rusun. Namun, angka itu dinilai tak cukup untuk 5.000 unit rusun di seluruh Jakarta Utara. Akibatnya, perawatan tak optimal.

Selain masalah penyerahan aset dan pengelolaan dari pemerintah pusat ke provinsi, keterbatasan sarana umum dinilai turut memicu masih banyaknya unit rumah kosong. Fasilitas pasar, puskesmas, serta sekolah mulai tingkat SD, SMP, hingga SMA sebenarnya telah direncanakan dibangun, tetapi belum terbangun hingga kini.

Akibatnya, sebagian penghuni yang ”tercerabut” dari sumber penghidupannya harus membayar lebih mahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dampaknya, uang sewa tak terbayar, bahkan menumpuk hingga berbulan-bulan.

Ijah (33), yang sebelumnya memulung sampah di dekat huniannya di Warakas, Tanjung Priok, misalnya, pontang-panting membayar sewa rumah Rp 141.000 per bulan serta listrik dan air yang lebih dari Rp 100.000 per bulan. Pendapatan sering habis untuk memenuhi pangan dan transportasi sehingga kerap menunggak bayar sewa rumah.

Hidayah, Susana, Ijah, dan penghuni lainnya harus bersusah payah mengatasi beragam keterbatasan. Merana di Rusun Marunda.(Mukhamad Kurniawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com