Sebenarnya banyak cerita rakyat tentang blusukan. Anak raja diharuskan blusukan sebelum menjadi pemimpin, misalnya dalam ”Cinde Laras”. Anak raja itu menempuh kehidupan menjadi ”budak” dalam masyarakat. Ketika ada sayembara di alun-alun, dia muncul dan jadi pemenang. Kemudian diketahui bahwa dia anak raja itu sendiri.
Para pendiri negara RI pun memosisikan dirinya seperti Cinde Laras. Tak mau hidup mewah jadi pegawai Pemerintah Belanda. Mereka justru blusukan ke desa-desa: mendidik. Hasilnya adalah spontanitas rakyat untuk sadar merebut kedaulatan.
Bergolak tanpa perintah di Surabaya, Ambarawa, Bojong Kokosan, mereka menghentikan invasi Sekutu. Jenderal Sudirman pun melanjutkannya. Klimaksnya ”merdeka atau mati” di seluruh pelosok negeri. Jadi, berkat partisipasi rakyat, kita merdeka. Kini apalah artinya banjir dan kemacetan dibandingkan dengan merebut kedaulatan negara.
Ada enam prasyarat blusukan. Pertama, cinta kepada rakyat banyak yang kumuh dan siap melayaninya dengan konsisten. Kedua, peduli pada tata ruang dan punya konsep solusi. Ketiga, tak dikendalikan uang, justru mampu mengendalikannya. Keempat, tahu kekuatan masyarakat dan lingkungan serta mampu menggerakkannya: intervensi sosial. Kelima, menguasai pendekatan komprehensif: interkorelasi, interdependensi, interdisiplin. Keenam, disiplin pada tujuan dalam UU ataupun UUD.
Begitulah kata pengalaman. Semoga pejabat DKI memenuhinya agar warga DKI secepatnya bisa berpartisipasi dalam segala solusi.
Blusukan