Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adakah Tempat Aman bagi Anak?

Kompas.com - 08/02/2013, 03:06 WIB

Oleh MARIA HARTININGSIH dan FITRISIA MARTISASI

Kekerasan seksual terhadap anak adalah bentuk pelanggaran berat hak anak yang sulit dimaafkan. Kejahatan itu ”sempurna” karena daya hancurnya terhadap kondisi kejiwaan anak, apalagi jika dilakukan oleh anggota keluarga terdekat, khususnya orangtua. asus RI (10) yang akhirnya meninggal karena radang otak akibat infeksi seksual menular setelah diperkosa ayahnya menyentakkan kesadaran publik. Kasus itu seperti genta yang mengingatkan bahwa tempat aman bagi anak tak bisa lagi diandalkan.

”Ancaman kekerasan terhadap anak terjadi berlapis,” ujar Apong Herlina, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Senin (4/2). ”Di dalam rumah, di sekitar rumah, kemudian di sekolah, di tempat kursus, di jalanan, dan di ruang publik lainnya.”

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak semakin marak terungkap. ”Kita tak bisa hanya berdoa,” sergah Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, Senin. ”Harus ada tindakan. Ini sudah darurat kejahatan seksual terhadap anak.”

Menurut Arist, tahun ini sampai tanggal 20 Januari, ada 42 kasus di Jakarta saja atau dua kejadian dalam sehari.

Makin serius

Tiga tahun terakhir, menurut Arist, situasi kekerasan semakin mengerikan karena banyak dilakukan anggota keluarga terdekat. Komnas PA mencatat sekitar 48 persen atau 1.075 kasus dari 2.637 kasus kekerasan pada tahun 2012

adalah kasus kekerasan seksual, sodomi, perkosaan, pencabulan, dan inses.

Dari jumlah itu, 51,30 persen di antaranya dilakukan orang terdekat dan 13,35 persen oleh ayah kandung. Tahun lalu, dari 2.508 kasus kekerasan yang dilaporkan, 52,06 persen adalah kasus kekerasan seksual oleh orang terdekat dan 31,73 persen di antaranya dilakukan ayah kandung. Sekitar 82 persen terjadi di kalangan bawah.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat, tahun 2008-2011 sebanyak 75 persen kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal.

”Kami belum tahu apakah kasusnya memang semakin banyak yang berarti nilai-nilai tentang keluarga semakin rusak dan kondisi sosial-ekonomi semakin memburuk, atau kesadaran masyarakat semakin tinggi karena informasi semakin terbuka, atau orang semakin berani datang ke lembaga yang mengurus kasus-kasus itu,” ujar Apong.

Eskalasi kasus tampaknya tak seimbang dengan keterbatasan sumber daya. ”Dalam sehari, Komnas PA menerima pengaduan 10-15 kasus. Sangat melelahkan,” kata Arist.

Dengan sumber daya yang ada, menurut Ajun Komisaris Sri Endang Lestari, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Timur, pihaknya menangani 25-30 kasus setiap bulan pada tahun 2012. Tahun sebelumnya, 35-50 kasus. Padahal, pengusutan membutuhkan waktu dan menguras tenaga terkait investigasi.

Fenomena global

Kasus kekerasan seksual terhadap anak juga menjadi fenomena global yang sebagian besar tak dilaporkan. Meski sebagian besar negara sudah meratifikasi Konvensi Internasional Hak Anak (CRC) pada tahun 1989, sejumlah lembaga internasional memperkirakan 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki di dunia mengalami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk pada usia di bawah 18 tahun.

Arist dan Apong menyayangkan reaksi masyarakat yang ”dingin” terhadap kasus-kasus kekerasan seksual pada anak. ”Paling ramai di koran satu-dua hari, habis itu selesai, tak ada apa-apa lagi. Lain dengan India,” kata Arist.

Mungkin pandangan Thomas Friedman dalam ”Virtual Middle Class Rising” (International Herald Tribune, 4/2/2012) dan Manuel Castells dalam Network of Outrages and Hope: Social Movements in the Internet Age (2012) bisa memberi jawaban.

Friedman menulis, di India telah terbentuk komunitas politik baru, yakni kelas menengah virtual yang meski miskin, tetapi dengan pendidikan dan teknologi serta memiliki kesadaran kuat akan hak-hak politiknya. Pandangan Castells menjelaskan mengapa segera terjadi protes besar menuntut negara menghukum berat pelaku pemerkosaan brutal di bus umum yang menewaskan seorang mahasiswi di New Delhi, India, 16 Desember 2012.

”Selain itu, gerakan feminis di India sangat kuat,” ujar pakar psikologi sosial-anak, Irwanto, dari Pusat Perlindungan Anak Universitas Indonesia.

Meski demikian, kepedulian masyarakat di Indonesia secara perlahan mulai terbangun. Banyak kasus dilaporkan oleh masyarakat atau pihak di luar keluarga inti. Kasus RI, misalnya, menurut Endang, dilaporkan oleh tetangga.

Struktural

Menurut Irwanto, maraknya kasus kekerasan terhadap anak terkait dengan persoalan struktural. Ruang-ruang publik yang semakin sesak oleh gedung-gedung tinggi, rumah yang berimpitan, sempit, dan tidak sehat di permukiman padat, serta kesempatan kerja bagi perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, meski dengan jenis pekerjaan rentan pelanggaran, adalah beberapa fenomena yang harus dipertimbangkan.

”Jika ibu pergi kerja di luar rumah, suami di rumah menganggur, kemungkinan terjadi tindak kekerasan seksual terhadap anak lebih besar,” ujar Irwanto.

Penelitian Elly Risman dari Yayasan Buah Hati terhadap anak SD di Jakarta (2010) tentang bahaya pornografi pada anak menunjukkan, kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di kalangan sebaya karena informasi tentang seks yang tak terkontrol dan penyaluran yang salah.

Apong melihat kaitan kemiskinan dengan masuknya anak ke dalam jaringan perdagangan orang (human trafficking) untuk kepentingan seks. Demikian pula kaitan kemiskinan dengan adat. Ia menyesalkan penyelesaian kasus pemerkosaan oleh laki-laki usia 40 tahun terhadap anak usia 13 tahun hingga hamil di Kabupaten Bangli, Bali.

”Atas nama adat dan kehormatan keluarga, anak itu dinikahkan dengan pelaku. Ini kan melanggar semua UU terkait, baik UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun KUHP,” ujar Apong.

Irwanto menambahkan, kesepakatan internasional tentang kejahatan seksual terhadap anak mencakup perkawinan di bawah umur, tetapi masih ditanggapi dengan tutup mata. ”Persoalan anak tak dipahami oleh para pengampu kebijakan,” ujarnya.

Selain itu, paradigma dari kajian sosial seharusnya dikembangkan dalam hukum. ”Harus ada pendekatan struktural dan kultural terkait posisi perempuan dan anak perempuan,” kata Irwanto.

Trauma

Persoalan lain adalah lemahnya kultur dan mekanisme perlindungan anak dan penanganan korban dari segi kelembagaan. ”Saat ini Indonesia masih sibuk dengan pemetaan sistem perlindungan anak,” lanjut Irwanto.

Sejauh ini perhatian lebih banyak tertuju kepada penyelesaian hukum untuk pelaku. ”Padahal yang paling rumit adalah menangani trauma korban. Apalagi korban kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga terdekat,” kata Irwanto.

Menurut Apong dan Arist, setelah terapi psikososial untuk menghadapi proses peradilan, dalam banyak kasus jejak korban tak lagi terlacak.

Selain itu, seluruh fasilitas pelayanan hanya ada di tingkat provinsi dan kabupaten. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan PPA hanya ada di polres. ”Padahal banyak kasus terjadi di tingkat kecamatan,” ujar Arist.

Apong tak melihat kehendak politik yang kuat dari pemerintah dalam menanggapi kasus-kasus anak. ”Masa depan kita ada di tangan mereka. Ini masalah nasionalisme yang paling riil,” kata Apong. (DOE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com