Jakarta, Kompas
Menurut Tundjung, sebaiknya KRL ekonomi non-AC tetap ada sampai sistem
”Sambil menunggu sistem itu selesai, sosialisasi tentang bagaimana proses pemberian subsidi kepada masyarakat yang berdaya beli rendah bisa berjalan baik harus dilakukan. PSO (
Sistem
Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan mengatakan siap menjalankan perintah penundaan penghapusan KRL ekonomi. Keputusan jalan atau tidak jalan adalah kewenangan Dirjen Perkeretaapian kepada PT KAI melalui kontrak penugasan. Namun, keputusan penundaan tersebut harus dilakukan tertulis.
”Kami siap melaksanakannya, tetapi kasih instruksi tertulisnya kepada kami. Dengan demikian, jika terjadi sesuatu atau insiden terhadap perjalanan KRL ekonomi,
ada yang bertanggung jawab. Selama ini, kan, tidak ada. Kami berharap, sebaiknya hal yang menyangkut kepentingan publik dan sensitivitasnya tinggi jangan hanya disampaikan kepada media, tetapi juga kepada PT KAI sebagai operator secara tertulis,” ujar Jonan.
Selain itu, jika pemerintah juga tetap menghendaki tarif KRL ekonomi tidak naik, atau tetap ada subsidi, aturannya harus diubah. Aturan yang ada sekarang, tarif subsidi hanya bisa diberikan ke KRL ekonomi non-AC.
Padahal, KRL ekonomi pengganti KRL non-AC kondisinya memprihatinkan. KRL sering mogok, pintu tidak bisa ditutup, dan pengadaan suku cadang sulit sehingga harus dikanibal. Hal ini sangat membahayakan perjalanan KRL dan penumpangnya. ”KRL ekonomi kami tarik bertahap karena kami juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Tarif KRL AC naik dari
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mendukung penghapusan KRL ekonomi karena armada yang digunakan sudah tidak manusiawi lagi. Deputi V UKP4 T Nirarta Samadhi mengatakan, penghapusan KRL ekonomi ini akan menyisakan satu kelas KRL, yakni KRL
Persoalan akan muncul bagi penumpang yang selama ini memanfaatkan tarif KRL ekonomi bersubsidi. Harga tiket KRL ekonomi hanya 25 persen dari tarif KRL nonsubsidi. ”PSO yang berlaku saat ini belum sempurna karena belum diikuti dengan perhitungan pembayaran
Berdasarkan Perpres Nomor 53 Tahun 2012, IMO dibayarkan pemerintah kepada PT KAI. Adapun TAC dibayarkan PT KAI kepada pemerintah selaku pemilik prasarana. Sebelum ada Perpres, IMO dan TAC selalu dianggap impas. Padahal, PT KAI menghitung pengeluaran IMO Rp 1,5 triliun per tahun. Beban ini turut memengaruhi perhitungan biaya yang ditanggung PT KAI dan berimbas pada harga tiket.
Nirarta optimistis tiket KRL bisa bergeser ke angka yang baik secara bisnis dan pelayanan setelah IMO, TAC, dan PSO diterapkan secara benar. Besaran IMO tengah diupayakan masuk dalam APBN Perubahan 2013.
Saat ini, UKP4 bersama sejumlah pihak tengah memperhitungkan mekanisme pencairan IMO agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.