Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Infrastruktur Pendukung KRL yang Selalu Tertinggal...

Kompas.com - 04/04/2013, 03:25 WIB

Johan Robi (26) menekan tombol kuning di boks navigasi Pos Pelintasan 28, Kebon Pedes, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (3/4) pagi. Tombol itu berfungsi mengurangi kecepatan turunnya palang pintu pelintasan kereta. Sesudah itu, ia bergegas keluar pos, meniup peluit, lalu mengangkat tangan, mengacungkan dua jari.

”Ada dua KRL (kereta rel listrik) yang lewat. Awas,” teriaknya kepada kerumunan pengemudi mobil dan sepeda motor yang hendak melintasi rel kereta.

”Kalau enggak dikasih tahu, kadang ada yang nekat menerobos pelintasan karena disangka cuma satu KRL yang lewat,” tambahnya.

Kadang-kadang, Johan juga meneriakkan peringatan kepada ”pak ogah” yang mengatur lalu lintas di pelintasan kereta api yang berpotongan dengan jalan raya itu.

Jalur di Pos Pelintasan 28 terbilang padat karena menjadi jalan alternatif menuju Jalan Soleh Iskandar ke arah Parung, Kabupaten Bogor.

Sejak tiga hari terakhir, tugas Johan pun makin berat karena frekuensi perjalanan KRL Bogor-Jakarta makin pendek akibat penambahan perjalanan, dari semula 98 jadi 101 perjalanan Bogor-Jakarta. Itu belum termasuk perjalanan Jakarta-Bogor.

Sejak pukul 09.30, selama 40 menit, setidaknya sudah sembilan kali palang pelintasan itu diturunkan. Artinya, setiap 4-5 menit palang diturunkan. Palang pelintasan itu rata-rata menutup sekitar 30 detik.

Jeda antar-perjalanan yang semakin berdekatan ini membuat Johan harus lebih waspada. Sistem operasi palang pintu dan alarm memang sudah otomatis. Saat KRL melintasi rel sekitar 500 meter sebelum pelintasan sebidang, otomatis sinyal terkirim ke palang pintu dan alarm. Namun, Johan tetap harus memperingatkan pos pelintasan terdekat melalui radio. Ia juga harus mengawasi warga yang kerap nekat menerobos.

”Jadinya mau ke WC juga harus ditahan-tahan,” kata Johan.

Pengalaman lebih kurang serupa dialami Samsudin (49), penjaga Pos Pelintasan 29 di Jalan RE Martadinata, Bogor Tengah. Ia pun mengaku harus beradaptasi dengan jeda yang makin singkat.

Ia juga harus selalu menahan diri lantaran tidak jarang ”diomeli” pengemudi sepeda motor atau mobil yang harus antre lama untuk melintasi pelintasan.

Endang (29), sopir angkot jurusan Salabenda-Pasar Anyar, misalnya, mengeluhkan antrean panjang di pelintasan Kebon Pedes. Siang hari, ia harus menunggu 10 menit untuk melintasi pelintasan itu dari jarak 300 meter. ”Coba kalau ada terowongan atau jembatan layang di atas rel kereta,” ujarnya.

Selain membuat kemacetan arus lalu lintas, pelintasan kereta juga berpotensi membahayakan warga. Data Polisi Khusus Kereta Api PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi I, pada Januari-Agustus 2012, di rel Bogor-Depok dan Bogor-Sukabumi, telah terjadi 48 kecelakaan dengan 18 orang tewas.

Kepala Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Kota Bogor Suharto mengaku, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2013 belum ada anggaran untuk membuat terowongan atau jembatan layang di pelintasan sebidang. Hal itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.

”Kalau mengajukan permintaan ke Kementerian Perhubungan, sudah. Kami minta itu jika memang ada keinginan membuat jeda perjalanan antarkereta dari 6 menit menjadi 3 menit,” tuturnya. (Antony Lee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com