Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan Duka atas Wafatnya Sahabat Saya, Abun Sanda

Kompas.com - 05/04/2013, 08:35 WIB

Hingga jelang maut datang menjemput pun Abun masih menunaikan tugasnya sebagai wartawan; satu tulisan tentang properti baru saja dia tuntaskan tak lama sebelum serangan jantung itu merenggut hidupnya. Abun memang petarung sejati: pergi di medan laga. Abun juga amat bersahaja dan rendah hati, termasuk dalam hal mendengar, berbagi, dan belajar dari orang lain (baik itu dengan narasumber, maupun belajar dari kawan sesama wartawan).

Kerendah-hatiannya juga tercermin dari selera makannya yang tak berubah, meskipun dia sudah menduduki posisi penting di Kompas. Salah satu makanan kegemarannya adalah masakan padang.

Saat saya bekerja di UNESCO Jakarta dari tahun 2000 hingga 2010, sudah seperti acara rutin bagi Abun, setidaknya sekali dalam tiga pekan, menyambangi saya ke kantor saat jeda waktu makan siang. Biasanya pagi harinya dia akan kontak saya entah lewat telepon ataupun lewat sms, dengan pesan yang selalu mirip: "Bos, siang ini kita berpadang ria lagi ya." Itu adalah instruksi untuk saya, agar saya menyiapkan nasi bungkus masakan padang yang dibeli oleh office boy kantor UNESCO di salah satu warung padang tak jauh dari kantor, yang kesedapannya boleh diandalkan.  

Siangnya Abun akan muncul di pintu ruang kerja saya (petugas keamanan kantor UNESCO sudah cukup mengenalnya, sehingga dia bisa menerobos langsung ke ruang kerja saya), dibuka dengan tawa khasnya yang membahana itu. Sekretaris saya pun juga sudah paham betul dengan kebiasaan Abun. Justru kalau Abun lama tak datang, sekretaris saya suka bertanya, "Kemana pak Abun ya? Kangen mendengar suara tawanya."

Begitu datang, biasanya tak menunggu terlalu lama Abun akan segera mengeluarkan aba-aba untuk membuka nasi padang yang masih terbungkus daun pisang dan kertas coklat mengkilap itu. Beberapa menit kemudian, kilap yang serupa kertas pembungkus nasi padang itu berpindah ke jidat Abun yang penuh peluh. Now, there will never be those scenes anymore...

Di atas itu semua, yang amat sangat paling membuat saya tabik pada Abun adalah kemampuannya membina hubungan, baik dengan para narasumbernya, maupun dengan kawan-kawan dan sahabatnya. Saya berani bertaruh, jika ada kontes di kalangan wartawan dalam hal jumlah kawan dan narasumber, Abun pasti akan unggul. Yang terasa lebih luar biasa lagi, Abun tetap menjaga hubungan baik dengan kawan-kawan dan para narasumbernya itu.

Jika sekarang Abun mengenal dengan baik dan dekat begitu banyak orang penting, hampir pasti Abun mengenal mereka ketika mereka semua masih belum menjadi siapa-siapa, belum menjadi "orang beneran". Salah satu yang paling saya ingat adalah Jusuf Kalla, yang telah menjadi sahabat karib Abun sejak Abun masih bertugas sebagai koresponden Kompas di Makassar di akhir 1980-an, dan Jusuf Kalla masih seorang pengusaha.

Perkawanan ini terus terjalin sampai Jusuf Kalla memegang posisi penting di pemerintahan, hingga menjadi Wakil Presiden. Abun pernah bercerita ke saya, bahwa kalau dia sedang diundang makan di rumah Jusuf Kalla, adalah istri Jusuf Kalla yang menyendokkan nasi ke piring Abun, menunjukkan Abun seakan anggota keluarga Kalla.

Sekali lagi, tak banyak orang yang punya kemampuan untuk menjalin hubungan dengan begitu banyak orang, dari begitu beragam kalangan (dari warga biasa hingga ke mereka yang berlimpah kuasa dan harta), untuk rentang masa yang begitu panjang. Abun adalah bagian dari jumlah sedikit yang istimewa itu.

Dalam hal yang satu ini, Abun adalah guru saya. Kemampuannya melakukan itu adalah cermin dari kesabaran tingkat tinggi, juga ketulusan hati. Dua hal yang seyogianya juga menjadi modal utama seorang wartawan (di samping berbagai modal lainnya seperti keterampilan meliput dan menulis). Nasihatnya tentang ini sederhana saja: "Rajin-rajinlah menjalin silaturahmi; kontak mereka secara berkala, meskipun hanya sekadar menyampaikan sapaan ringan. Jika kita mengingat mereka, tak mungkin mereka tak mengingat kita."

Empat tahun lalu Abun menyaksikan kepergian istrinya, Anita, dilepas oleh kerumunan anggota keluarga dan kawan-kawan Abun. Sekarang giliran Abun yang dilepas oleh kerumunan kerabat dan sahabatnya. Saya yakin, ribuan kawan dan sahabatnya itu sama terperanjatnya, sama berdukanya seperti saya. Sama kehilangannya.

Namun mereka lebih beruntung ketimbang saya; mereka pastilah akan berkerumun di rumah duka, dan juga di lokasi pemakaman. Saya hanya dapat melepas Abun dari jauh, dari tempat saya merantau sekarang, Tehran.

Tempat yang juga sudah sempat kami obrolkan berdua, tentang keunikan negeri dan bangsa Iran, tentang tempat-tempat yang indah di Iran, tentang kemungkinan yang tidak ditepis Abun bahwa sekali waktu dia akan menyambangi saya di Tehran lalu berkeliling ke tempat-tempat yang dahsyat di negeri Persia ini (kendati tak ada nasi bungkus masakan padang, yang membuat kening dan pelipis Abun senantiasa berpeluh itu). 

Namun kini semua rencana itu hanya akan mengendap dalam ingatan dan kenangan saya. Dan karena saya tak dapat melepas Abun langsung di Tanah Air, maka saya siapkan catatan singkat ini. Agar bisa saya bagi-bagi ke orang lain. Juga agar kenangan saya akannya tetap lekat abadi.

*) Arya Gunawan Usis, teman satu angkatan dengan alm Abun Sanda di Kompas, sekarang Arya bekerja di UNESCO Teheran, Iran

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com