Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inovasi Keterbukaan Ketika DCS Diumumkan

Kompas.com - 29/04/2013, 02:50 WIB

Kalau saya dipindah dapil (daerah pemilihan), lebih baik saya tidak maju. Kalau saya dipindah, artinya DPP (pengurus pusat partai politik) tidak menginginkan saya (jadi anggota DPR),” cerita seorang anggota DPR pada pertengahan April lalu. ”Sesederhana itu saja, kok, melihatnya.”

Pendaftaran calon anggota DPR/DPRD memang merupakan tahapan krusial, tidak saja bagi partai politik peserta Pemilihan Umum 2014, tetapi terutama juga bagi para bakal calon anggota legislatif yang sudah ”mendaftar” untuk diseleksi.

Bahkan, para politikus yang kini menjadi anggota DPR pun belum tentu aman. Posisinya dalam daftar calon bisa saja tidak seperti pemilu lalu. Bukan hanya nomor urut yang bisa melorot, perpindahan dapil justru kerap menjadi momok yang lebih menakutkan. Empat tahunan menjabat sebagai ”petahana” (incumbent) dengan ketekunan merawat konstituen bisa-bisa buyar ketika parpol menugaskan yang bersangkutan untuk pindah dapil.

Seleksi ketat berlangsung dalam penyaringan bakal calon. Di parpol yang relatif mapan, daftar antreannya bisa amat panjang, berlipat-lipat dari kuota 560 calon anggota DPR yang bisa didaftarkan. Pada wilayah yang merupakan kantong suara tradisional bagi parpol, peminatnya bisa berjibun karena harapan untuk meraih kursi relatif lebih besar. Sebaliknya, di wilayah yang ”kering suara”, peminat lebih sedikit. Seleksi pun kian terasa sulit karena ada keharusan memenuhi kuota keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar.

”Kalau antreannya banyak, tentu semakin susah (masuk daftar). Kalau tidak ada yang menjamin, tentu membingungkan. Kan, tidak semua dikenal. Ketum (ketua umum) pasti nanya, ’Ini siapa?’,” cerita salah seorang politikus parpol besar. Namanya tercantum di urutan atas daftar calon, persis di dapil yang memang disasarnya sejak awal.

Sulit menghindari anggapan bahwa penyusunan daftar calon berjalan secara tertutup. Atau setidaknya prosesnya hanya melibatkan sekelompok elite parpol. Alhasil, banyak bakal calon yang bahkan tidak tahu apakah mereka dicalonkan, di dapil mana, dan berapa nomor urutnya. Bukan hanya bakal calon yang baru akan maju, anggota DPR yang hendak maju lagi pun tidak jauh berbeda.

Ketertutupan itulah yang kadang dikhawatirkan hanya bakal menguntungkan sekelompok orang yang dekat dengan para elite pengambil keputusan partai. Bahkan, kalau saja daftar itu tidak diumumkan segera, bakal calon pun masih belum akan tenang karena bisa saja pergantian dan/atau pergeseran terjadi tanpa sebab musabab yang jelas.

Transparansi

Pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasca-penutupan penyerahan daftar calon oleh parpol pada 22 April lalu bolehlah disebut sebagai inovasi transparansi. Paling tidak rasa ingin tahu bisa terjawab secepatnya tanpa harus menunggu pengumuman daftar calon sementara (DCS).

Anggota KPU, Sigit Pamungkas, menyebut, langkah mengumumkan daftar tanda terima calon anggota DPR dari parpol peserta Pemilu 2014 merupakan inovasi keterbukaan yang hendak dipraktikkan dalam setiap tahapan pemilu. Selama ini, parpol cenderung tertutup dalam penyusunan daftar calon. Bahkan, sampai pendaftaran dilakukan, bakal calon bisa tidak tahu apakah jadi dicalonkan dan di dapil mana.

Selanjutnya, KPU akan merilis kelengkapan berkas setiap calon anggota legislatif sebagai bagian dari kontrol atas daftar yang telah diajukan parpol. Daftar yang diumumkan saat ini masih daftar tanda terima caleg. ”Belum DCS,” ujar Sigit.

Deputi Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykurudin Hafid berharap pengumuman bakal calon anggota parlemen dibarengi niat memudahkan para pemilih untuk melihat rekam jejak calon legislator tersebut. Informasi yang disampaikan KPU harus bisa menjadi patokan bagi publik untuk menilai kelayakan calon legislator yang akan duduk di DPR. ”KPU perlu memberikan dimensi kualitas dalam tahapan administrasi ini,” tuturnya.

Masykurudin menyarankan KPU menambahkan informasi mengenai jenis kelamin bakal calon untuk memudahkan masyarakat pemilih menghitung, mengidentifikasi, dan melihat sejauh mana parpol mengakomodasi representasi perempuan. Riwayat pendidikan dan informasi mengenai pekerjaan dan jabatan publik yang pernah diemban bakal calon juga idealnya bisa dicantumkan. KPU bisa memperoleh data itu dari lampiran surat pernyataan yang disertakan bakal calon.

”Ini penting untuk mendeteksi apabila ternyata yang bersangkutan, misalnya, masih menyandang jabatan yang tidak boleh mencalonkan atau masih aktif di partai yang lain,” kata Masykurudin.

Ia juga berharap pengumuman informasi bakal calon tersebut diikuti KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Ini sebagai bagian dari keterbukaan kepada publik. (Sidik Pramono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com