Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perencanaan E-KTP Buruk

Kompas.com - 11/05/2013, 04:51 WIB

Jakarta, Kompas - Sejak munculnya proyek KTP elektronik, banyak pertanyaan diajukan masyarakat, seperti proses perekaman data, pembuatan, kualitas, dan keamanan data. Munculnya larangan memfotokopi e-KTP yang bocor menunjukkan perencanaan kebijakan dan komunikasi yang buruk.

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya, Sukowidodo, Jumat (10/5), menjelaskan, membuat nomor identitas tunggal dan penanda kependudukan berupa KTP elektronik adalah inovasi yang mampu mengatasi sejumlah persoalan kependudukan. Namun, diperlukan sosialisasi lengkap sejak awal, baik manfaat, tujuan, maupun aplikasinya, kepada masyarakat luas.

Selain itu, realisasi nomor identitas tunggal berikut KTP elektronik seharusnya dibarengi infrastruktur penunjangnya, yaitu pembaca kartu (card reader). Sekarang ini, Sukowidodo mencontohkan, seperti membuat sepeda motor, tetapi belum ada jalan dan, saat sepeda motor akan difungsikan, dilarang digunakan.

Surat edaran Menteri Dalam Negeri yang meminta para menteri, kepala lembaga pemerintahan non-kementerian, dan lembaga lain, Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan bank, Kepala Polri, serta para kepala daerah menyediakan pembaca kartu baru disampaikan pada 11 April 2013, hampir dua tahun setelah proyek KTP elektronik dilaksanakan. Edaran ini pun belum sampai ke bagian pelayanan masyarakat, seperti kelurahan.

Para pemimpin diminta tidak memfotokopi KTP elektronik, apalagi distapler. Sementara hal ini disampaikan, warga sudah memfotokopi untuk berbagai keperluan karena syarat yang mengharuskan. Edaran menimbulkan kekhawatiran warga. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, apabila difotokopi berulang-ulang, KTP dikhawatirkan rusak. Untuk memperbarui KTP elektronik yang rusak atau hilang, pihak kelurahan belum melayani.

Tak ada penelitian

Pakar informatika, Ruby Alamsyah, mengatakan, secara prinsip, KTP elektronik terdiri atas beberapa lapisan dan salah satunya berisi cip radio-frequency identification (RFID). ”Cip RFID biasa digunakan untuk kartu identitas dan tidak ada satu penelitian pun yang menyebutkan cip rusak karena difotokopi,” tuturnya.

Dalam spesifikasi teknis untuk lelang pengadaan KTP elektronik juga tercantum cip bekerja dengan baik pada temperatur -25 derajat celsius sampai 70 derajat celsius. Ukuran memori minimal 8 kilobytes untuk menyimpan biodata, tanda tangan, foto, serta sidik jari telunjuk kanan dan kiri.

Kendati aman difotokopi, ujar Ruby, KTP elektronik rusak jika distapler dan terkena langsung pada cipnya. Kebiasaan menstapler KTP terjadi di sejumlah instansi, salah satunya dalam pengurusan pajak kendaraan bermotor.

Atas kekisruhan ini, Gamawan menjelaskan, edaran hanya diberikan untuk para pimpinan instansi pemerintah dan perbankan supaya mengubah cara pemanfaatan KTP elektronik. Gamawan hendak mendesakkan penggunaan pembaca kartu.

Untuk pembaca kartu, kata Gamawan, banyak yang menjual. Salah satunya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang sudah menemukan sistem pembacaan KTP elektronik yang akan diberlakukan per 1 Januari 2014.

Kebutuhan pembaca kartu untuk KTP elektronik sangat tinggi. Dalam hitungan Kompas, apabila terdapat 130 bank di Indonesia yang masing-masing memiliki satu cabang di 533 daerah otonomi di Indonesia dan setiap cabang memerlukan 10 pembaca kartu, jumlah kebutuhan untuk perbankan sudah mencapai 692.900 buah. Jumlah ini belum termasuk instansi pemerintah, Polri, dan instansi swasta lain.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman menambahkan, belum ada KTP elektronik rusak karena difotokopi. Bukti dukungan kepada calon kepala daerah dan calon anggota DPD pun masih dibolehkan menggunakan fotokopi KTP warga.

Sukowidodo menambahkan, Kemendagri tidak bisa melarang fotokopi KTP elektronik sepanjang alat pembaca kartu belum tuntas disosialisasikan dan digunakan semua instansi pemerintah dan swasta.

Sejauh ini, Kemendagri sudah merekam data dari 175 juta penduduk. Dari jumlah ini, sekitar 800.000 terdeteksi mencoba merekam lebih dari satu kali. Adapun KTP elektronik yang sudah didistribusikan sekitar 130 juta.

Namun, Gamawan mengatakan, masih ada potensi sekitar 16 juta wajib KTP yang belum merekam data. Karenanya, perekaman data untuk pembuatan KTP elektronik masih dilanjutkan. Saat ini, penambahannya hanya berkisar 70.000 per hari.

Menanggapi larangan fotokopi KTP elektronik, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, perlu diluruskan. ”Mungkin bukan tidak boleh difotokopi, tetapi tidak perlu difotokopi karena nanti akan digunakan card reader untuk membaca datanya,” katanya.

Dengan larangan fotokopi ini, kata Basuki, pemerintah daerah dibebani tambahan untuk mengadakan pembaca kartu. Meskipun harga per unit murah, tetap harus ada dana dari APBD untuk pengadaannya. DKI Jakarta kini tengah menghitung jumlah pembaca kartu yang dibutuhkan.

Mempertanyakan

Warga mempertanyakan KTP elektronik karena saat berpindah alamat tidak bisa lagi mendapatkan KTP elektronik sesuai tempat tinggalnya yang baru.

Mendapati hal ini, Dina (33), warga Duren Sawit, Jakarta Timur, diberi KTP format lama oleh petugas kelurahan.

Di Batam, seluruh kecamatan sudah mendapat pembaca KTP elektronik. Namun, mesin hanya bisa menampilkan data penduduk yang terdaftar di kecamatan itu saja. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Batam Ardi Winata mengatakan, mesin-mesin itu didapatkan beberapa bulan lalu. Selain di kecamatan, mesin juga ditempatkan di dinas kependudukan dan catatan sipil.(INA/fro/ndy/mkn/nel/SIR/ABK/NIK/RAZ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com