Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kami Merasa Lebih Nyaman"

Kompas.com - 15/05/2013, 03:55 WIB

Saat ditawari mengosongkan lahan ketika banjir melanda Pluit, Januari-Februari 2013, tak banyak penghuni Waduk Pluit bergegas pindah. Alasannya macam-macam, terutama karena jauh dari lokasi kerja atau sekolah. Seorang warga Muara Baru lain menyatakan, ada kepentingan bisnis di balik usaha sebagian warga melarang tetangganya pindah ke rusun. Mereka khawatir usaha kos semakin sepi dan tak laku lagi.

Padahal, pemerintah mengiming-imingi mereka dengan sejumlah fasilitas, yakni gratis biaya sewa tiga bulan, air dan listrik, serta rumah berperabot lengkap, termasuk kulkas, kompor gas, televisi, kasur, dan meja kursi.

Lebih nyaman

Seperti Hotmauli, Iis (28), penghuni Rusun Marunda, menilai, tinggal di Rusun Marunda jauh lebih nyaman ketimbang di sekitar Waduk Pluit. Selain lingkungan yang lebih bersih, biaya sewa jauh lebih murah dari kontrakannya di Muara Baru. Iis dikenai tarif subsidi Rp 151.000 per bulan, sedangkan sewa rumah sebelumnya Rp 300.000 per bulan.

Hunian di Muara Baru umumnya berdiri di atas perairan yang bewarna hitam, penuh sampah, dan berbau busuk. Saat banjir, rumah-rumah di sekitar Waduk Pluit terendam berhari-hari hingga ketinggian 1,6 meter. Tidak hanya itu, penghuni baru Rusun Marunda diberi pelatihan keterampilan gratis, seperti tata rias kecantikan, tata boga, dan servis elektronik. Mereka juga diberi modal dan lokasi usaha.

Pemerintah juga membuka rute kapal Marunda-Muara Baru dan menyediakan bus untuk membantu transportasi warga Muara Baru yang direlokasi ke Marunda. Pemerintah juga menambah pusat kesehatan, tempat ibadah, dan sekolah untuk anak usia dini di Rusun Marunda.

Selain itu, pemerintah juga merelokasi warga di kawasan Waduk Pluit ke Rusun Buddha Tzu Chi di Muara Angke dan Cengkareng, Rusun Pinus Elok di Penggilingan Cakung, dan Rusun Waduk Pluit Penjaringan. Diperkirakan telah lebih dari 1.200 keluarga pindah ke rusun.

Meski demikian, tak sedikit warga yang bertahan tinggal di Waduk Pluit. Jumlah penghuni lahan waduk diperkirakan masih sekitar 8.000 keluarga. Hingga Rabu, warga Muara Baru menolak kehadiran aparat dan alat berat yang akan membongkar bangunan. ”Kami khawatir rumah warga digusur,” kata Rose (34), koordinator warga waduk Pluit, terkait aksi itu.

Rose dan warga, khususnya di RT 019 RW 017 Penjaringan yang kini menentang pengosongan lahan, berharap ada dialog sebelum penggusuran. Apalagi, sebagian warga yang dijanjikan rusun hingga kini belum dapat. Padahal, hunian mereka di sekitar Waduk Pluit telah rata dengan tanah.

Pemerintah daerah berencana membangun 100 tower per tahun di sejumlah kawasan, antara lain Muara Angke, Muara Baru, dan Marunda. Hingga akhir tahun ini, ditargetkan 40 tower dengan 4.000 unit rumah terbangun.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam beberapa kesempatan mengatakan, pembangunan rusun baru mendesak untuk menampung warga yang kini tinggal di lahan terlarang, seperti bantaran sungai, waduk, serta kolong jembatan dan jalan layang.

”Kami sampaikan pesan agar jangan ada lagi warga yang menduduki lahan negara serta mengambil untung dengan membangun rumah dan menyewakannya kepada orang lain,” kata Basuki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com